Judul:
|
SILAKRAMANING BHUJANGGA
RI PENABEAN BHUJANGGA WASINAWA
|
Dari:
|
Raka sudirga Made
(maderakasudirga@yahoo.co.id)
|
Kepada:
|
sudartainengah@yahoo.co.id;
|
Tanggal:
|
Rabu, 7 Januari 2015 12:56
|
Prawacana/Pengendag
Om Awignam Astu
Oh Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa; sebagai umat manusia
ciptaan-MU, Kami bersukur kehadapanMU; berkat anugrahMU-lah kami dilahirkan
pada saat Peradaban Manusia telah berada pada puncak-puncak-nya, pada jaman
keemasan. Pada jaman dimana telah banyak rahasia Alam Semesta mampu diungkap
oleh para penemu-penemu yang tercerdaskan. Penemuan bom atom, listrik dan
lahirnya berbagai teknologi, sehingga dapat dinikmati demi kesejahteraan umat
manusia; termasuk teknologi kedokteran, teknologi transportasi, teknologi
komunikasi dan lain-lainnya yang maju dengan sangat pesatnya.
Oh Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa; kami
juga menghaturkan puji-sukur kehadapanMU, karena kami telah dilahirkan
dilingkungan Umat Hindu; yang meyakini Panca Srada: meyakini keberadaan
‘Tuhan Yang Maha Esa’ dan bahwa kami adalah percikanMU, ‘atman’
yang terkungkung di dalam fisik ini. Disamping dibungkus oleh wadah fisik atau Stula
Sarira, ternyata kami Antah Karana Sarira juga dibungkus badan
halus; Suksma Sarira atau Lingga Sarira. Meyakini adanya ‘Punarbhawa’
atau reinkarnasi dan meyakini ‘Karma-Phala’ sebagai penyebabnya.
Terakhir meyakini
Moksah; Suka tanpa wali duka setelah terlepas dari ikatan Dunia Material,
sebagai tujuan Kehidupan ini. Dengan cara membersihkan Karma Wasana yang
melekat pada Suksma atau Lingga Sarira tersebut kita dapat mencapai Jiwanmukti;
moksa dalam kehidupan ini.
Oh Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa; sebagai umat Hindu kami
menghaturkan puji-sukur kehadapanMU karena kami dilahirkan di lingkungan Maha Warga
Bhujangga Waisnawa; lingkungan keluarga yang Leluhurnya mampu ‘menjadi contoh’
yang patut di jadikan panutan; suri-tauladan. Beliau menjalani sendiri
tahapan-tahapan kehidupan, Catur Asrama sehingga mencapai puncaknya; Bhiksuka
Asrama. Secara sadar dengan niat-tulus-iklas menyucikan diri demi mencapai
tujuan hidup; sesuai Sloka Utama: ‘moksartham jagadhita ya ca iti dharma’.
Sesuai dengan namanya; para Leluhur keluarga ini telah memilih dan
meyakini, bahwa ‘Ajaran Waisnawa’ mampu menuntun beliau untuk menuju Jiwanmukti
atau Moksah. Sesuai fakta sejarah dan kenyataan, sampai saat ini Aguron-guron
di lingkungan Maha Warga Bhujangga Waisnawa dilakukan oleh Warga sendiri.
Tegasnya Ida Nabe berasal dari Maha Warga Bhujangga Waisnawa sendiri. Dengan
kata lain, memasuki Bhiksuka Asrama dengan memohon bimbingan dan tuntunan
kepada Leluhur beliau sendiri, yang diawali dengan pembukaan mata kebijaksanaan
melalui diksa sehingga mampu berada di jalanMu; ya Tuhan.
Sampai sekarang, saat dekade pertama Abad ke-21 telah terlampaui;
dengan dibimbing oleh seorang Ida Nabe, Aguron-guron di lingkungan Maha Warga
Bhujangga Waisnawa masih berjalan lancar sebagaimana mestinya.
Wajarlah kami, Maha Warga Bhujangga Waisnawa bertanggung-jawab
serta berkewajiban untuk melestarikan; memelihara, melanjutkan dan
menumbuh-kembangkan niat suci dan ajaran utama tersebut yang telah menjadi
Tradisi Adi Luhung sehingga kami mampu mewariskannya kepada anak cucu kami.
Dalam upaya pelestarian itulah, melalui tiga kali Sabha Ageng dan
terutama pada Sabha Ageng Ke-2 Ida Bhujangga Rsi Waisnawa[1]
tanggal 18 Februari 2007; para Ida Rsi Bhujanga Waisnawa telah mengadakan upaya
pengembangan dan penikatan Sistem Aguron-guron ini. Dengan harapan untuk
mendapatkan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang mampu melayani masyarakat sesuai
tuntutan masa depan; melalui upaya peningkatan Sistem Aguron-guron yang tentu
meliputi Ida Nabe, Murid atau Sisya, Materi dan Methoda.
Peningkatan Sistem Aguron-guron khususnya “Persiapan” sebelum
menerima Inisiasi atau Diksa sebagai tanda telah diterima menjadi Sisya;
dilimpahkan kepada Welaka, yaitu Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
Maka demi kesucian dan kemuliaan Penabean di Lingkungan Maha
Bhujangga Waisnawa ini, maka diupayakan penataan sebagai berikut:
BAB. I.
PENGERTIAN, NAMA DAN KEDUDUKAN
Pasal 1.
Pengertian
1.
Penabean Buhjangga
Waisnawa adalah nama Resmi dari
wadah untuk menjalani Aguron-guron di Lingkungan Maha Warga Bhujangga Waisnawa;
dan dipimpin oleh seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe Werdha selaku Ida
Nabe Werdha
2. Silakramaning Bhujangga ri Penabean Buhjangga Waisnawa adalah Tata-Cara atau Tata-Tertib menjadi Sisya atau Siswa
Kerohanian di Perguruan Suci di Lingkungan Maha Warga Bhujangga Waisnawa
3. Aguron-guron
adalah proses belajar-mengajar antara Ida Nabe dengan Ida Rsi Sisya di dalam
upaya meningkatkan kesucian fisik, mental dan spiritual pada tahap Bhiksuka
Asrama. Dengan demikian penekanannya adalah kepada ke-Bhujangga-an atau ajaran
kerohanian.
4. Ida Sinuhun Nabe
adalah seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe yang telah memiliki nanak yang
telah menjadi Ida Nabe
5. Ida Nabe adalah seorang Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Suci yang bertanggung-jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan
Aguron-guron sejak menganugrahkan Diksa sampai akhir hayat beliau.
6. Guru Waktra
adalah seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang bertanggung-jawab sebagai
pembantu Ida Nabe didalam melaksanakan Pembinaan Sisya menuju ke Kesucian dalam
Aguron-guron sejak persiapan Calon Diksa untuk menerima Anugrah Diksa dari Ida
Nabe.
7. Guru Saksi adalah seorang Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa yang bertanggung-jawab sebagai pembantu Ida Nabe didalam
mengawasi Perkembangan Sisya dalam Aguron-guron sejak persiapan Calon Diksa
untuk menerima Anugrah Diksa. Guru Waktra dan Guru Saksi; keduanya juga disebut
dengan Guru Pembina
8. Diksa atau Inisiasi adalah
upaya Ida Nabe membuka mata batin Calon Diksa dalam suatu upacara; yang juga
menjadi tanda bahwa yang bersangkutan telah diterima menjadi Sisya atau peserta
Aguron-guron atau anggota Bhujangga.
9. Diksa Mapulang Rah adalah
Diksa atau Inisiasi yang dilakukan oleh Ida Rsi Guru Rupaka atau Kakyang/Niyang
terhadap putra-putri atau putu kandungnya dibawah bimbingan dan restu Ida Nabe;
sehingga Sisya bersangkutan menjadi anggota resmi Penabean Bhujangga Waisnawa.
10. Pembinaan Calon Diksa adalah Pembinaan kepada Calon Diksa oleh Moncol
Maha Warga Bhujangga Waisnawa, sebelum diserahkan kepada Ida Nabe untuk dapat
diterima mengikuti Aguron-guron. Pembinaan Calon Diksa adalah juga sebagai bagian
akhir dari Wanaprasta Asrama. (diberi kebebasan ut mengenal berbagai
perkembangan Tatwa; Susila dan Acara Agama seluas-luasnya di masyarakat tanpa
mengabaikan upaya mencari jati diri Bhujangga Waisnawa)
11. Pemantapan Calon Diksa adalah bagian terakhir dari Pembinaan Calon
Diksa; dan setelah berhasil menjalani Pemantap; kepada Calon Diksa akan diberi
Rekomendasi sebagai tanda telah boleh mengajukan permohonan untuk dapat di
terima sebagai Sisya kepada Ida Nabe
12. Bhujangga, Sang Angelaraken Abhedaya Jnana. Bhujangga adalah
mereka atau Beliau yang menjalani Kehidupan Rohani, mempelajari kebujanggan
atau ilmu kerohanian dan menjadi peserta Aguron-guron pada Penabean Bhujangga
Waisnawa.
13. Pepalihan Bhujangga adalah penjenjangan peserta Aguron-guron
berdasarkan penguasaan atau pemahaman terhadap materi pelajaran (ajah-ajahan)
yang penilaian, dan keputusannya dianugrahkan oleh Ida Nabe. Kenaikan atau
Penjenjangan dilakukan dalam 3 (tiga) sekali.
14. Bhujangga Anom adalah wadah ikatan persaudaraan berdasarkan
kerohanian antara sesama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dari ‘yang telah menerima
Anugrah Diksa Ida Nabe’ sampai Ida Rsi Bhujangga yang usia pediksannya
menjelang 3 (tiga) tahun atau sehari sebelum menerima anugrah “Mapulang Lingga”
dari Ida Nabe. (0<BhA<3 th). Keanggotaannya ditandai dengan penganugrahan
Catu/Piagem-BhA dan niyasa-niyasa.
15. Bhujangga Madya adalah wadah ikatan persaudaraan berdasarkan
kerohanian antara sesama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dari ‘yang telah menerima
Anugrah Mapulang Lingga atau yang telah 3 (tiga) tahun menerima Anugrah Diksa’
sampai Ida Rsi Bhujangga yang telah 6 (enam) tahun menerima Diksa atau sehari
sebelum menerima Piagem–BhU1 dari Ida Nabe (3 th<BhM<6 th).
Keanggotaannya ditandai dengan penganugrahan catu/Piagem –BhM dan niyasa-niyasa
lainnya.
16. Bhujangga Utama adalah wadah ikatan persaudaraan berdasarkan
kerohanian antara sesama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang telah 6 (enam) tahun
lebih menerima Anugrah Diksa. Diantara sesama Bhujangga Utama juga berjenjang
setiap 3 tahun.
17. Bhujangga Guru adalah Bhujangga Utama yang sedang menjadi Guru Pembina; baik
sebagai Guru Waktra maupun Guru Saksi.
18. Sabha Ageng adalah Forum atau Paruman seluruh Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa yang diselenggarakan atas persetujuan dan restu dari Guru
Ida Sinuhun Nabe. Dan Sabha Ageng ini merupakan Kedaulatan tertinggi didalam
Penabean Bhujangga Waisnawa. Dihadiri oleh seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa;
terdiri dari
o Ida
Ida Sinuhun Nabe,
o Ida
Nabe,
o Guru
Pembina (Guru Wakta dan Guru Saksi)
o Para
Bhujangga terdiri dari Bhujangga Utama/Bhujangga Guru, Bhujangga Madya dan
Bhujangga Anom
19. Sabha Madya adalah Forum atau Paruman Ida Rsi Bhujangga Waisnawa secara
terbatas;
o antara
Ida Nabe dengan para Guru Pembina atau
o antara
Guru Pembina dengan Para Bhujangga
20. Sabha Alit adalah
Forum atau Paruman Ida Rsi Bhujangga Waisnawa secara terbatas yang hanya
dihadiri para Bhujangga, seluruhnya atau sebagian; sehingga cenderung bersifat
Dharma Tula
21. Bhisama adalah suatu wacana Resmi dari
1. Ida
Ida Sinuhun Nabe dan atau Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe
2. Keputusan
Sabha Ageng.
3. Keputusan
Sabha Madya setelah mendapat pengesahan oleh Ida Nabe Werdha
Bhisama berlaku, dihormati dan mengikat bagi Para Bhujangga dan
atau Maha Warga Bhujangga Waisnawa
22. Tri Kahyangan Utama Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah 3 (tiga)
Pura Utama dilingkungan Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang dapat menjadi wadah
atau tempat mensosialisasikan semua Bhisama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe dan
atau Keputusan Sabha Ageng Ida Rsi.
Tri Kayangan Utama dimaksud adalah:
1. Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa Gunung Sari di Jatiluwih
2. Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa Batu Bolong di Canggu
3.
Pura Pedharman Bhujangga
Waisnawa Besakih di Besakih
23. Yadnya Dangan, adalah Yadnya yang Ringan dari Panca Yadnya; diluar Yadnya
Atiwa-tiwa/Pengabenan dan Dewa Yadnya Nyanggar Tawang atau Yadnya Abot
Pasal 2.
Nama Lembaga
Nama Lembaga ini adalah
PENABEAN BHUJANGGA
WAISNAWA yang merupakan wadah Aguron-guron
atau wadah proses belajar-mengajar untuk memperdalam Ke-Bhujangga-an
(kerohanian) bagi mereka yang sedang menjalani tahap akhir Catur Asrama atau
Bhiksuka Asrama menuju Jagadhita dan Moksah; di Lingkungan Maha Warga Bhujangga
Waisnawa.
Pasal 3.
Kedudukan
Penabean Bhujangga
Waisnawa ini berkedudukan di Provinsi
Bali. Sedang Griya Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Nabe Weredha/ Ida Nabe Werdha sebagai pusat mengendalikan
dan menggerakan organisasi ini.
BAB. II.
FUNGSI, TUGAS, WEWENANG, SASARAN DAN TUJUAN
Pasal 4.
Fungsi
Penabean Bhujangga Waisnawa berfungsi sebagai:
1. Wadah proses belajar-mengajar atau Aguron-gurun antara Sisya dengan Guru Waktra dan termasuk
pengawasan oleh Guru Saksi terhadap perkembangan Sisya yang dipimpin oleh Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe
2. Wadah untuk melahirkan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang berkualitas sehingga siap dan mampu
memenuhi tuntutan pelayanan umat masa depan.
3. Wadah untuk meningkatkan ke-Bhujangga-an didalam lingkungan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa.
4. Wadah Ida Rsi Bhujangga Waisnawa untuk selalu meningkatkan kesucian diri,
sehingga mencapai kesejahteraan dalam kehidupan ini (jagadhita).
5. Wadah dalam upaya peningkatkan kualitas diri, baik fisik, mental dan spiritual, demi
mencapai kelepasan, terbebas dari keterikatan terhadap material dalam kehidupan
ini (Jiwanmukti).dan akhirnya Moksah
6. Wadah yang disamping mampu melahirkan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang semata-mata
demi penyuciaan dirinya sendiri (Ida Rsi BW Ngeraga); juga mampu melahirkan Ida Rsi yang siap dan mampu berkiprah di
masyarakat sebagai Ida Rsi BW Nglokapala
Sraya dan Ida Rsi BW yang mampu memberi pencerahan
kepada umat dengan berbagai cara termasuk dharma wacana; Ida Rsi BW Dang Acarya.
Pasal 5.
Tugas
Pada hakekatnya Kehidupan ini adalah kesempatan baik bagi umat
manusia untuk meningkatkan kualitas dirinya. Pencapaian tingkat keesucian atau
kualitas diri masing-masing pribadi sangat tergantung dan berawal dari
keinginan, semangat dan niat yang tulus-iklas dari pribadi bersangkutan;
sehingga Penabean Bhujangga
Waisnawa bertugas:
1. Menginformasikan, Menganjurkan dan Mendorong Maha Warga Bhujangga Waisnawa agar
menjalani kehidupan sesuai Ajaran Agama Hindu
2. Menganjurkan MWBW yang berminat untuk menjalani kehidupan Wana Prasta dan
Bhiksuka Asrama secara serius, tulus dan terprogram melalui Pembinaan Calon
Diksa yang tugasnya telah dilimpahkan kepada Moncol MWBW sesuai hasil Sabha
Ageng ke-2 18 Februari 2007 di Pura Pauman Bhujangga Waisnawa, Tonja
3. Menerima Sisya yang betul-betul secara tulus iklas untuk menjalani asuci-laksana sehingga melalui
tahap Wanaprasta dan Bhiksuka Asrama
4. Melakukan proses belajar mengajar, Aguron-guron; memberi petunjuk, mendorong dan membimbing Ida
Rsi Sisya untuk selalu melaksanakan penyucian diri (Asuci Laksana),
meningkatkan kualitas diri baik fisik, mental dan spiritual.
5. Membangun komunikasi antara sesama Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa sehingga tercipta
hubungan harmonis didalam kehidupan yang mengedepankan kesucian.
6. Membangun kerja-sama dan keharmonisan didalam Wadah Penabean Maha Warga Bhujangga
Waisnawa sehingga dapat menciptakan suasana saling dukung mendukung di dalam
upaya mengungkap jati Diri Bhujangga Waisnawa.
7. Mengajak, menanamkan dan membangun disiplin untuk secara tulus dan iklas Asuci laksana
bersama-sama, saling isi-mengisi diantara sesama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
menuju Satya-Brata demi kelancaran pelaksanaan Yoga-Semadhi.
Pasal 6.
Wewenang
Penabean Bhujangga Wasinawa ini pengelolaannya dipimpin oleh Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe Wredha; berwenang:
1. Mengelola Penabean Bhujangga
Waisnawa untuk dapat memenuhi fungsi dan melaksanakan
tugas seperti diatur di dalam Pasal 4 dan Pasal 5 diatas
2. Menetapkan system aguron-guron dan menetapkan mata pelajaran atau materi ajar didalam proses
belajar-mengajar atau Aguron-guron di dalam Penabean Bhujangga Waisnawa.
3. Melarang diluar mata pelajaran atau
materi ajar yang telah ditetapkan untuk dimanfaatkan
atau diterapkan didalam proses belajar-mengajar atau Aguron-guron di dalam
Penabean Bhujangga Waisnawa.
4. Menerima Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang telah memenuhi syarat dan mengajukan diri untuk
menjadi Sisya Penabean Bhujangga Waisnawa.
5. Menolak mereka yang tidak
mmenuhi ketentuan yang diatur didalam Cilakrama ini
untuk menjadi Sisya Penabean Bhujangga Waisnawa
6. Penerimaan sebagai Sisya dinyatakan
resmi setelah Calon Sisya yang diterima menerima
Diksa dari Ida Bhujangga Waisnawa Nabe
7. Menetapkan Tata-titining atau
tata-cara dan ketentuan Padiksan di dalam Penabean di
Lingkungan Bhujangga Waisnawa sebagai pelengkap Aturan Penabean ini
8. Mencermati, menyetujui atau
menolak Guru Waktra dan Guru Saksi yang dipilih oleh
calon Sisya untuk menjalani proses Belajar-Mengajar atau Aguron-guron seumur
hidup.
9. Menunjuk, menetapkan Guru
Waktra dan atau Guru Saksi pengganti; apabila Guru
Waktra dan atau Guru Saksi dari Ida Rsi Sisya bersangkutan lebar atau meninggal
dunia; Kecuali Ida Rsi Sisya telah mencapai tingkat Bhujangga Utama, dan Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe berkenan merangkap tugas tersebut.
10. Untuk meningkatkan
disiplin didalam Asucilaksana Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe berkenan mengapreasi
(memberi penghormatan) kepada mereka yang telah mengalami kemajuan didalam
Asuci laksana; dalam bentuk hak menerima mantram dan atau Catu/Piagem langsung
dari Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe/ Ida Nabe Werdha.
11. Demikian juga bagi mereka
yg dianggap telah mampu memberi pelayanan ke pada Masyarakat akan diberikan hak untuk muput Upacara
sesuai kemampuannya.
12. Guru Waktra mengajarkan
ajaran yang sesuai dengan yg telah digariskan oleh Ida Nabe Werdha atau Penabean Bhujangga Waisnawa.
13. Guru Saksi menegur atau
meluruskan ajaran yang diduga
menyimpang, bila diterapkan oleh Ida Rsi Sisya; dengan berkoordinasi terlebih
dahulu dengan Guru Waktra, tentang penyimpangan yang terjadi.
14. Bagi Ida Rsi BW yang berniat Asucilaksana untuk
kepentingan diri sendiri atau Ida Rsi BW Ngeraga akan tetap dibina didalam
Penabean ini.
15. Bagi Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa yang dipandang belum memadai untuk dapat muput upacara di Masyarakat pada
tingkat tertentu akan didorong terus utuk meningkatkan kesucian (power) dan
ketrampilannya oleh Guru Pembinanya.
16. Disamping mengapresiasi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe Werdha atas
nama pimpinan Penabean Bhujangga Waisnawa juga akan menegor dan melarang
memasukkan ajaran lain tanpa melalui Sabha Madya atau Sabha Ageng.
17. Ida Rsi Rsi Bhujangga
Waisnawa Nabe Werdha
atas nama pimpinan Penabean Bhujangga Waisnawa menetapkan seorang Sisya berwenang
Ngeraga, Ngelokapala sraya dan atau sebagai pen-Dharma Wacana.
18. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe Werdha atas nama pimpinan Penabean
Bhujangga Waisnawa menetapkan tingkatan upacara yang boleh dipuput oleh Sisya
beliau
19. Ida Bhujangga tidak diperkenankan melanggar ketetapan
dan atau ketentuan yang berlaku didalam Penabean Bhujangga Waisnawa.
Pasal 7.
Sasaran
1. Sasaran yang ingin dicapai melalui pelaksanaan Aguron-Guron ini
adalah mampu memaknai Ajaran Waisnawa, yang diyakini mampu menuntun umat
manusia untuk meningkatkan kualitas dirinya, fisik maupun mental.
2. Melahirkan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa berkualitas, sesuai Tuntutan
Masa Depan.
3. Melahirkan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa jagadhita; mampu mencapai
kesejahteraaan lahir batin dalam kehidupan ini.
4. Mampu menjadi pusat penerangan Ajaran Waisnawa (Kebenaran) demi
kesejahteraan seluruh lapisan Masyarakat; Umat Manusia; yang didukung
sepenuhnya oleh para Bhujangga dari seluruh Griya seluruhnya.
5. Mampu menanamkan kepada umat manusia makna Ajaran Waisnawa, yang
diyakini mampu menuntun umat manusia untuk mencapai Jagadhita dan Moksah.
Disadari bahwa 4 faktor yang menentukan kerberhasilan pencapaian
Sasaran diatas adalah Calon Diksa, Perangkat Penabean, Materi Aguron-Guron dan
Metoda penyampaiaannya. Karena itulah maka Pembinaan Calon Diksa merupakan
bagian tak terpisahkan dari Sistem Aguron-Guron di dalam Penabean Bhujangga
Waisnawa.
Pasal 8.
Tujuan.
1. Penabean Bhujangga Waisnawa ini bertujuan untuk menghantarkan para
Sisyanya untuk menjadi “Sulinggih”.
2. Penabean Bhujangga Waisnawa ini bertujuan untuk menghantarkan para
Sisyanya untuk mencapai Kelepasan; terbebas dari ikatan keduniawian; mencapai
Jivanmukti atau Moksha dalam kehidupan ini
Pasal 9.
Ida Rsi Masa Depan
Kedepan masyarakat atau umat manusia akan makin berkembang;
berpikiran cerdas, cermat, penuh logika, kritis, praktis, cenderung menuju
efektif dan efisien, sederhana; maka dibutuhkan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang
sangat mumpuni, berkualitas untuk mampu melayani umat dimasa depan. Kualitas
didalam hal ini; terukur sebagai berikut:
1 Ditinjau dari Sifat Dasar Alam Material atau
Triguna, Beliau adalah Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sattwika; yang
mempunyai sifat tenang, seimbang, harmonis dan penuh kesucian.
2 Ditinjau dari tingkat keterikatan dengan Dunia
Material, Beliau adalah Aatma Sadhaka atau Amrtha Sadhaka; adalah
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang telah menyadari sepenuhnya bahwa diri
beliau bukan badan ini, tetapi penghuni badan; yaitu Atman.
3 Ditinjau dari segi Ruang Lingkup Kiprah
Jangkauan Swadharma, Beliau dapat memilih menjadi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Ngraga,
Nglokapala Sraya atau Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Acarya.
Dengan kata lain yang manapun pilihan Swadharma Beliau, Ngraga,
Nglokapala Sraya atau Acaraya, diharapkan Beliau telah mencapai; Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Sattwika dan Amrtha dan kemudian menuju/ menjadi
Sulinggih
Pasal 10.
Sulinggih, Ida Sang Meraga Putus
1. Beliau Amertha Sadhaka; wiku yang telah menyadari diri sejatinya
adalah Sang Atman
2. Sudah menjadi penekun spiritual yang telah terbiasa mencapai
Samadhi (Kesadaran Rohani) dan melakukan perjalanan rohani; sihingga mampu
mempengaruhi perkembangan sifat, sikap dan tingkah lakunya dengan cepat menuju
Satya Brata.
3. Satya Brata; berpola hidup menyatu dengan brataning Wiku; Panca
Yama dan Panca Niyama Brata telah menjadi pola hidup beliau.
4. Sulinggih, beliau yang telah putus atau telah mampu melepaskan diri
dari ikatan Duniawi
5. Beliau yang didalam kesehariannya hidup sejahtera (jagadhita) dan
didalam meditasinya mampu mencapai kebebasan; beliau telah Moksa dalam
kehidupan ini; Jivanmukti[2]
BAB. III.
SUMBER DAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENABEAN
Pasal 11.
Agama Hindu Sebagai Sumber
Pelaksanaan Penabean di
Lingkungan Maha Warga Bhujangga Waisnawa ini bersumber dan berpedoman kepada
Agama Hindu. Sebagai penganut Hindu tentu Maha Warga Bhujangga Waisnawa
memiliki pegangan-pegangan pokok dan keyakinan yang mendasar, sebagai acuan
didalam melaksanakan Penabeaan di Lingkungan MWBW.
Pasal 12.
Pedoman Pelaksanaan
1. Panca Sradha
Sebagai Umat Hindu Maha Warga Bhujangga Waisnawa,
a. Percaya dan meyakini adanya Paramatman atau
Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai pencipta dan penguasa
Alam Semesta beserta isinya
b. Percaya dan meyakini adanya Atman yang diwadahi berbagai wujud
makhluk
c. Percaya dan meyakini adanya Hukum Sebab-Akibat
atau Hukum Karma-Pala.
d. Percaya dan meyakini adanya Punarbhawa; kehidupan kembali dimana
Atman memperoleh wadah baru, karena masih memiliki beban karma
e. Percaya dan meyakini adanya Moksa, terbebas dari
beban karma atau ikatan Alam Material menuju menyatunya Atman dengan Paramatman
2. Sloka Utama
a. Pelaksanaan Penabean Bhujangga Waisnawa ini
mengacu dan berpegangan kepada sloka: “moksartham jagadhita ya ca iti
dharma”
b. Meyakini bahwa dharma (Agama Hindu) mampu menuntun umat manusia
untuk menemukan jagadhita; kesejahteraan di Dunia ini dan akhirnya mencapai
Moksa.
c. Meyakini bahwa Agama Hindu dapat menjadi
penuntun umat manusia untuk memperbaiki kualitas diri secara bertahap sehingga
mencapai Moksa.
d. Dengan demikian jagadhita adalah menjadi Sasaran antara, dan
tujuan akhirnya adalah Moksa. Jadi umat manusia yang mempercayayakan kepada
Agama Hindu sebagai pedoman hidupnya patut mencapai kesejahteraan terlebih
dahulu sebelum mencapai moksa
e. Dan didalam pelaksanaannya diterapkan secara
harmonis di dalam Tri Kerangka Dasar Agama Hindu; yaitu Tattwa; Susila dan
Acara.
3. Catur Purusa Artha
a. Catur Purusa Artha bermakna bahwa kesempatan
hidup di dunia ini manusia memiliki 4 (empat) tujuan utama; yaitu dharma,
artha, kama dan Moksa.
f. Diyakini bahwa; Catur Purusa Artha merupakan
penjabaran lebih rinci dari Sloka Utama sesuai ayat 2 diatas.
g. Sasaran Antara dari dharma, berupa kesejahteraan hidup di Dunia
(jagadhita) dapat dicapai, diawali dengan memahami 3 (tiga) tujuan pertama,
yaitu dharma, artha dan kama untuk mencapai Jagadhita.
h. Maka perjalanan menuju moksa akan lebih lapang bila jagadhita atau
kesejahteraan di Dunia ini dapat dicapai terlebih dahulu.
i. Dan Jagadhita akan dapat dicapai apabila artha
dan kama itu diperoleh berdasarkan dharma. (Sarasamuscaya-11; hal 9)
j. Demikian pula akan lebih mulia apabila kama itu
diperoleh dengan tuntunan dharma dan atau berbekal artha yang diperoleh
berdasarkan dharma.
k. Pada prinsipnya; pencapaian semuanya itu harus didasari oleh
dharma, sehingga dharma menjadi bekal awal atau berperanan sangat penting agar
semua yang lainnya dapat dicapai.
4. Catur Asrama
MWBW menyadari hidup ini adalah kesempatan untuk meningkatkan
kualitas diri dan disisi lain hidup ini relatif sangat singkat, maka disadari
pula bahwa hidup ini patut dilaksanakan secara cermat dengan tekad mencapai
jagadhita dan akhirnya moksa. Bagaimana caranya?
Hindu menyiapkan cara, sebagai berikut;
a. Brahmacari Asrama; (Brahma = Tuhan; cari/car =
bergerak); aktif mencari Tuhan. Pencari Tuhan. Tahap Sewaka Guru, atau aktif
berguru.
Didalam Brahmacari Asrama, Patut diawali dengan meraih dharma
sejak dini, dasar untuk meraih segala sesuatu untuk kehidupan. Gapai Widya,
lepaskan Awidya, kegelapan
Juga lebih dikenal dengan tahap selibat, belum atau mutlak
menghindari hubungan seks, dengan tulus dan sepenuhnya berniat meraih
Ilmu Pengetahuan semaksimal mungkin untuk mempersiapkan diri
dalam menjalani tahap berikutnya
b. Grhasta Asrama(Grha=rumah; stha= mendirikan); tahap mendirikan
rumah-tangga.
Dalam Grhasta Asrama, menjalani kehidupan berumah-tangga;
dengan senang hati bertanggung jawab terhadap anak istri (Rama Rna) dan
bertanggung-jawab terhadap orang Tua (Putra Sesana) demi mendukung beliau
menjalani Wana Prasta Asrama
c. Wanaprasta Asrama, (Wana = hutan; prastha =
berjalan) tahap berjalan menuju hutan; retreat, mengundurkan diri ke hutan
untuk bertapa. Bermakna mulai berlatih melepaskan diri dari ikatan pengaruh
Alam Material secara bertahap.
Pada jaman sekarang mejalankan Wanaprasta Asrama tidak harus pergi
ke hutan, namun tetap berupaya memnggembleng diri, melepaskan diri dari
kemelekatan keduniawian sejalan dengan telah lepasnya tanggung jawab sebagai
kepala keluarga. Dan sejalan dengan upaya melepaskan diri dari keduniawian
tentu diimbangi dengan memperdalam tentang ajaran kebenaran (satyam); Tuhan
d. Bhiksuka Asrama (Bhiksu = pendeta, hidup meminta-minta, sanyasin),
tahap hidup dengan lebih fokus kepada tujuan akhir; moksa. Seolah-olah tidak
mempehatikan kehidupan fisik, makan seadanya dan lebih menonjolkan (latihan)
spiritual.
Dalam Bhiksuka Asrama, setelah tugas-tugas melepaskan keterikatan
keduniawian maksimal/mentok dalam tahap Wana Prasta; kemudian dengan bekal ilmu
kebenran, perhatian lebih fokus kepada upaya menuju Tujuan Akhir..
5. Catur Marga
Hindu memeberi 4 (empat) cara/jalan sebagai pilihan untuk
menuju atau dapat menyatu dengan Tuhan; sebagai berikut:
a. Bhakti Marga/Bhakti Yoga (Bhakti = berbakti,
sembahyang, penyerahan diri secara utuh dengan tulus-iklas); upaya untuk mendekatkan
diri atau menyatu kepada Tuhan dengan cara bersembahyang, penyerahan diri
secara utuh dengan tulus-iklas kepada Tuhan, dengan berbekal keyakinan yang
kuat.
b. Karma Marga/Karma Yoga (Karma=perbuatan, tingkah laku, pekerjaan);
upaya untuk mendekatkan diri atau menyatu kepada Tuhan dengan cara
bertingkah-laku, berbuat dan bekerja sebaik-baiknya demi persembahan,
penyerahan sepenuhnya kepada Tuhan. Berkarma tanpa Pamrih.
c. Jnana Marga/Jnana Yoga (Jnana = Pengetahuan);
upaya untuk mendekatkan diri atau menyatu kepada Tuhan dengan cara mengabdikan
diri kepada Ilmu Pengetahuan dan memanfaatkannya demi keagungan Tuhan, terutama
Pengetahuan tentang Kebenran.
d. Yoga Marga/Raja Yoga(Yoga=bermeditasi sampai mencapai Semadhi,
perjalanan Spiritual); upaya untuk mendekatkan diri atau menyatu kepada Tuhan
dengan cara melakukan pejalanan spiritual.
Demi kesempurnaan, orang bijak akan menggabungkan keempat cara/
jalan pendekatan diri kepada Tuhan diatas.
BAB. IV.
PERANGKAT PENABEAN
Pasal 13.
Struktur Penabean
Maha Warga Bhujangga Waisnawa secara tradisi sejak dulu sampai
sekarang memiliki Sistem Nabe Tunggal. Namun mengingat keadaan sekarang; Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe sudah sudah lingsir; usia lebih dari 91 tahun;
wilayah pelayanan sangat luas (seluruh Bali[3])
dan ada 2 Kabupaten yang belum ada Ida Rsi BW ngadeg; serta hanya 23 Kecamatan
dari 57 Kecamatan se-Bali yang ada Ida Rsi BW ngadeg; maka diatur:
1. Semoga beliau berkenan memilih dan menugaskan pengelolaan Penabean
Bhujangga Waisnawa ini kepada Ida Rsi Bhujangga Nabe Werdha yang beliau tunjuk
atau pilih dari beberapa Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe yang ada (terpilih).
2. Dengan demikian setelah beliau berkenan menunjuk Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa Nabe Werdha; beliau serentak menjadi Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa Sinuhun Nabe; selanjutnya disebut dengan Ida Sinuhun Nabe.
Demikian juga Ida Rsi Bhujangga Nabe Werdha selanjutnya disebut Ida Nabe
Werdha dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe disebut Ida Nabe.
3. Di dalam melaksanakan Fungsi, Tugas dan Wewenang untuk mencapai
tujuan seperti diatur dalam BAB. II. diatas Penabean Bhujangga Waisnawa
dipimpin oleh seorang Ida Nabe Werdha.
4. Sebagai Pemimpin Penabean Bhujangga Waisnawa Ida Nabe Werdha
dibantu oleh beberapa Ida Nabe termasuk didalam melaksanakan tugas Napak.
5. Ida Nabe dibantu Guru Waktra dan Guru Saksi sebagai Pembina
Langsung Sisya.
6. Pembina Sisya bertugas mendapingi/membantu Ida Nabe didam membina
dan mengawasi perkembangan mulai saat menjelang menerima Diksa/Insiasi dan
setelah yang bersangkutan menjadi Sisya.
7. Bila Calon Diksa adalah Putra seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
yang ‘Kantun Nyeneng’, atas ijin atau anugrah Ida Nabe Werdha maka Ida Rsi
Bhujangga yang merupakan Ayah atau Ibu (Guru Rupaka) tersebut dapat menjadi
Nabe dari Sang putra dan serentak Ida Rsi Bhujangga Nabe sebagai Ida Sinuhun
Nabe. Dan Ida Sinuhun Nabe menjadi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Abra Sinuhun
Nabe. Selanjutnya disebut Ida Abra Sinuhun Nabe.
8. Ida Sinuhun Nabe serentak menjadi Ida Abra Sinuhun, apabila nanak
atau Sisya dari Ida Nabe Werdha atau Ida Nabe menjadi Nabe dari putranya (Diksa
Mapulang Rah). Demikian pula Ida Nabe Werdha dan Ida Nabe yang lainnya (satu
level) serentak menjadi Ida Sinuhun Nabe dari Sang Sisya bersangkutan.
9. Guru Waktra dan Guru Saksi yang dipilih oleh Calon Diksa harus
mendapat persetujuan dari Ida Nabe berssangkutan dan atau Ida Nabe Werdha.
10. Guru Pembina baik
bertugas sebagai Guru Waktra atau Guru Saksi hanya dapat dipilih diantara Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa yang telah 6 (enam) tahun madiksa atau Bhujangga Utama.
11. Bhujangga Utama yang
sedang menjadi Pembina baik sebagai Guru Waktra maupun Guru Saksi disebut Ida
Bhujangga Guru
Pasal 14.
Pendukung Ida Nabe Werdha
Dalam tugas mengelola Penabean Bhujangga Waisnawa Ida Nabe Werdha
dan Ida Nabe didukung oleh Bidang Penelitian dan Pengembangan (LIT-BANG) serta
Bidang Tata Usaha.
Pasal 15.
Kedudukan, Tugas dan Tanggung jawab
1. Didalam melaksanakan tugas Penabean Bhujanga Waisnawa, seorang
dari Ida Nabe berkedudukan sebagai Pemimpin; yaitu Ida Nabe Werdha yang
memimpin beberapa Ida Nabe.
2. Bertanggung-jawab terhadap kelancaran proses belajar-mengajar atau
Aguron-guron di dalam Penabean Bhujangga Waisnawa
3. Ida Nabe Werdha atau Ida Nabe lainnya bertugas Napak Calon Diksa,
sebagai tanda yang bersangkutan telah diterima sebagai Sisya Penabean Bhujangga
Waisnawa
4. Menetapkan Materi atau mata ajaran yang harus disampaikan kepada
Sisya pada setiap tahapan atau jenjang.
5. Menetapkan hasil Sabha Ageng atau Sabha Madya yang patut dijadikan
materi atau mata ajaran sesuai dengan tahapannya
6. Menuntun Sisya atau Nanak beliau untuk meningkatkan kebujanggan
sejak dari Pediksaan, Ngalinggihang Weda, Mapulang Lingga dan seterusnya.
7. Menuntun dan mendorong setiap Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sisyanya
agar terus berusaha meningkatkan kualitas Kebujanggaan seumur hidup.
8. Bertanggung jawab penuh terhadap kemajuan kualitas kebujanggan Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa Sisyanya
9. Bertanggung jawab terhadap kelangsungan dan perkembanagan Penabean
Bhujangga Waisnawa, demi membimbing umat manusia menuju kebenaran.
Pasal 16.
Syarat Umum Menjadi Ida Nabe
Syarat menjadi Nabe sesuai Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek
Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa
adalah:
1.
Seorang yang selalu
dalam keadaan bersih dan sehat baik lahir maupun bathin.
2.
Mampu melepaskan diri dari
ikatan keduniawian.
3.
Tenang dan bijaksana.
4.
Selalu berpedoman kepada
Kitab Suci Weda.
5.
Paham dan mengerti
tentang Catur Weda.
6.
Mampu membaca Sruti dan
Smrti.
7. Teguh melaksanakan Dharma-Sadhana (sering berbuat amal, jasa, dan
kebajikan).
8.
Teguh melaksanakan Tapa
Brata.
Pasal 17.
Syarat Khusus
1. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Lanang atau Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
Istri.
2. Sepasang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa atau Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa Lanang-Istri
3. Telah mencapai tahap Bhujangga Utama.(BhU-3) yang telah 12 tahun
lebih menerima anugrah Diksa dan telah 6(enam) tahun Mapulang Lingga.
4. Telah pernah minimal 3 (tiga) kali menjadi Guru Waktra atau
minimal 3 (tiga) kali menjadi Guru Waktra
5. Telah pernah minimal 3 (tiga) kali menjadi Guru Pembina; tegasnya
pernah paling sedikit 3 (tiga) kali menjadi Guru Waktra dan Guru Saksi
6. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang telah mendalami Weda atau Intisari
Agama Hindu dan terutama Ajaran Waisnawa.
7. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa sehat secara fisik, mental dan
spiritual.
8. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sauca dan Santosa; selalu meningkatkan
kesucian lahir dan batin sehingga teruji serta mampu menerima dengan tenang
segala bentuk cemohan maupun pujian dengan tenang dan damai; tidak marah.
9. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Satya Brata; atau beliau yang telah
menjalani secara ketat Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata. Dengan kata
lain Beliau telah berpola hidup sesuai Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata [4]
10. Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa yang secara sadar dan tulus untuk ikut membangun dan mengembangkan
Penabean Bhujangga Waisnawa.
11. Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa yang secara sadar dan tulus untuk menanamkan dan memaknai ajaran
Waisnawa bagi Umat Hindu
12. Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa yang mengajukan diri secara tertulis kepada Penabean Bhujangga
Waisnawa dan mendapat dukungan minimal 4 (empat) Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
Lanang untuk menjadi Bakal Calon Ida Nabe. Dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Seorang Bakal Calon Ida Nabe tidak berhak
mendukung bakal lainnya.
b. Seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Lanang tidak boleh mendukung
lebih dari seorang Bakal Calon Ida Nabe
13. Bakal Calon Ida Nabe
yang memenuhi syarat akan diajukan menjadi Calon Ida Nabe didalam Pemilihan Ida
Nabe
Pasal 18.
Pemilihan dan Penetapan Ida Nabe/Ida Nabe Werdha
1. Ida Nabe Penerus (Anyar) adalah Beliau yang dipercaya dan dianggap
mampu oleh Ida (Sinuhun) Nabe untuk melanjutkan Tugas Penabean dan menjadi
tumpuan seluruh Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang berniat tulus untuk
melaksanakan tahap akhir perjalanan Kehidupan sebagai Umat Hindu; yaitu tahap
Bhiksuka Asrama.
2. Ida Nabe Penerus ditunjuk oleh Ida Nabe didalam Sabha Ageng;
dengan demikian Ida Nabe Anyar yang ditunjuk oleh Ida Nabe (lama) langsung
menjabat sebagai Ida nabe Wredha
3. Bila dalam suatu keadaan Ida Nabe (sekarang) karena alasan
tertentu belum sempat menunjuk pengganti beliau sebagai Ida Nabe; maka
pemilihan Ida Nabe dapat dilakukan secara musyawarah-mufakat.
4. Dan bila musyawarah-mufakat tidak tercapai maka pemilihan
dilakukan secara (Voting) Demokratis.
5. Keadaan yang dimaksud di dalam ayat 3 adalah:
o Ida
Nabe lebar sebelum sempat menunjuk pengganti Beliau sebagai Ida Nabe
o Ida
Nabe dalam keadaan sakit keras atau tidak dapat berpikir dengan baik; sehingga
Beliau tidak mampu menentukan pilihan secara wajar
o Ida
Nabe tidak berkenan menunjuk pengganti beliau; sampai lebar.
6. Pemilihan dan Penetapan Ida Nabe dilakukan di dalam Sabha Ageng
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa se-Bali yang dihadiri minimal separo lebih anggota
Bhujangga termasuk Ida Rsi BW Nabe/ Ida Sinuhun Nabe
7. Sabha Ageng juga di hadiri oleh Pengurus Moncol atau perwakilan
yang mempunyai hak Suara
8. Bakal Calon Ida Nabe ditetapkan sebagai Calon Ida Nabe di dalam
Sabha Ageng Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Se-Bali
9. Semua Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Lanang maupun Istri memiliki Hak
Suara penuh.
10. Perwakilan Walaka juga
memiliki hak suara didalam Pemilihan Ida Nabe. Perwakilan dimaksud antara lain:
a. Perwakilan dari Dewan Pertimbangan Moncol Pusat; 1 suara
b. Ketua
Umum Moncol Pusat sebagai wakil Kemoncolan Pusat, 1 suara.
c. Perwakilan dari Moncol Kabupaten/Kota se-Bali; 1 suara
11. Setiap yang berhak
memilih patut lebih mengutamakan kesucian didalam memilih demi keagungan
Penabean Bhujangga Waisnawa dimasa depan
12. Pemilihan Ida Nabe
dilakukan serentak, hanya sekali putaran.
13. Calon Ida Nabe yang
terpilih menjadi Ida Nabe adalah beliau yang mendapat suara minimal 20% dari
suara yang masuk.
14. Ida Nabe Werdha sebagai
Pemimpin Penabean Bhujangga Waisnawa dipilih oleh Ida Sinuhun Nabe
15. Penetapan Ida Sinuhun
Nabe dan Ida Nabe dilakukan di dalam Sabha Ageng Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
Se-Bali.
Pasal 19.
Guru Pembina
1. Sejak mempersiapkan Pediksaan dan dalam pelaksanaan aguron-guron selanjutnya
Ida Nabe Werdha/Ida Nabe dibantu oleh Guru Pembina.
2. Guru Pembina terdiri dari 2 (dua) orang; yaitu Guru Waktra dan
Guru Saksi
3. Hubungan “Guru-Sisya” antara Ida Nabe dengan Sisya berlangsung
seumur hidup.
4. Demikian juga hubungan antara Guru Waktra dengan Sisya dan Guru
Saksi dengan Sisya berlangsung seumur hidup.
Pasal 20.
Tugas Guru Waktra
1. Guru Waktra bertugas membina dalam arti membimbing, menuntun dan
mendorong Sisya untuk selalu menyucikan diri secara fisik dan mental.
2. Pembinaan berpedoman kepada Weda, meliputi Tattwa, Susila dan
Acara
3. Mengetahui dan memahami Materi atau mata ajaran yang patut
disampaikan kepada Sisya menurut tahapan para Sisya; sesuai yang telah
ditetapkan oleh Penabean BW
4. Merancang mata ajaran yang patut disampaikan, sehingga pada tahap
tertentu Sisya telah menerima Ajaran Agama Hindu secara utuh; baik mengenai
Tattwa, Susila maupun Acara.
5. Sejak menyatakan bersedia menjadi Guru Waktra dari Calon Sisya,
Guru Waktra telah menyiapkan diri dan memberi pembinaan terhadap apa yang patut
dilakukan Calon Sisya di dalam menyongsong dan termasuk pada saat Acara
menerima Anugrah Diksa dari IdaNabe/Ida Nabe Werdha.
6. Membina, membimbing dan memberi pelajaran kepada Sisya sesuai
petunjuk Ida Ida Nabe dan hasil keputusan Sabha Ageng yang telah ditetapkan.
7. Mendorong dan mengajarkan secara bertahap tapi pasti sejak awal
berbagai brata sesuai tahapan demi mendukung pelasanaan Kebhujanggan atau
Abhedaya Jnana (Ajaran Kerohanian) berjalan lancar.
8. Mendorong Sisya agar senantiasa memanfaatkan setiap waktu luang
dalam keseharian, menghindari melamun/menghayal atau membicarakan hal yang
tidak patut dengan selalu “Eling” kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa melalui berbagai
cara termasuk berjapa dan atau pranayama.
9. Mendorong Sisya agar memanfaatkan setiap kesempatan bertemu muka
dengan Ida Nabe untuk memperoleh petunjuk/pewarah-warah tanpa mengabaikan
etika/susila atau tata susila berhadapan dengan Ida Nabe.
10. Mendorong Sisya untuk
melaksanakan semua petunjuk, pewarah-warah Ida Nabe dengan taat, tertib, tekun
dan tepat waktu sesuai jadual yang telah ditetapkan.
11. Guru Waktra disamping
melakukan pembinaan fisik, mental dan Rohani (spiritual) juga bertugas melatih
penerapan mantram dan tikas setiap yadnya/upacara yang diperlukan didalam
pelayanan Masyarakat (Nglokapalasraya) sesuai jenjang Sisya bersangkutan
12. Siap memberi bimbingan
kepada Sisya setiap ada kesempatan bertemu, sehingga mendorong Sisya untuk rajin
bertanya dan tekun melaksanakan ajaran, petunjuk maupun tugas yang telah
dilimpahkan.
13. Guru Waktra wajib
mendorong dan membangkitkan seluruh Sisya Binaannya untuk berupaya mengungkap
Jati Diri Maha Warga Bhujangga Waisnawa
14. Guru Waktra bertugas
sebagai Nara Sumber dan tetap dalam fungsi sebagai Pembina pada saat Ida Nabe
Werdha dibantu oleh Ida Nabe melakukan penilaian terhadap Sisya; terutama pada
saat kenaikan jenjang.
15. Guru Waktra
bertanggung-jawab terhadap kemajuan Sisya sesuai jenjangnya.
16. Guru Waktra wajib
menyampaikan laporan tertulis perkembangan Sisya-binaannya kepada Ida Nabe
Werdha/Ida Nabe masing-masing sesuai jadual atau minimal dalam setahun sekali.
17. Guru Waktra selalu aktif
berkoordinasi dengan Guru Saksi dari Sisya yang sama.
18. Guru Waktra wajib
mendorong dan membangkitkan seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa untuk berupaya
mengungkap Jati Diri Maha Warga Bhujangga Waisnawa
Pasal 21.
Tugas Guru Saksi
1. Mengetahui dan memahami Materi atau mata ajaran yang patut
disampaikan kepada Sisya menurut Jenjang; sesuai yang telah ditetapkan oleh Ida
Nabe Werdha/Penabean
2. Merancang waktu pengawasan dan evaluasi mata ajaran Sisya sesuai
tahapan atau jenjang Bhujangga bersangkutan.
3. Guru Saksi bertugas mengawasi dan mengendalikan Sisya agar tidak
keluar dari pakem/ ketentuan yang ada atau telah ditetapkan oleh Penabean;
sesuai dengan jenjangnya
4. Sejak menyatakan bersedia menjadi Guru Saksi dari Calon Sisya,
telah menyiapkan sistem pengawasan/evaluasi terhadap Sisya sesuai Jenjang
Bhujanga termasuk saat menyongsong dan pada saat Acara Anugrah Diksa dari Ida
Nabe/ Ida Nabe Werdha.
5. Di dalam proses Aguron-guron bertugas Mengawasi, meluruskan,
membimbing dan membina sikap dan wacana Ida Rsi Sisya didalam lingkungan
Penabean dan didalam memberi Pelayanan kepada umat agar sesuai petunjuk Ida
Nabe dan hasil keputusan Sabha Ageng yang telah ditetapkan menjadi Bhisama.
6. Mengawasi dan mengendalikan Sisya agar tidak keluar dari ketentuan
yang ada atau telah ditetapkan oleh Ida Nabe Werdha/Penabean; sesuai dengan
jenjangnya
7. Mengawasi dan mengevaluasi pelajaran Sisya sesuai petunjuk Ida
Nabe Werdha atau Penabean dan hasil keputusan Sabha Ageng yang telah
ditetapkan.
8. Mengawasi dan mengevaluasi secara bertahap sejak awal sambil
mendorong agar Sisya melaksanakan brata dengan tekun, sesuai tahapan demi
mendukung latihan Kebhujanggan atau Abhedaya Jnana (Ajaran Kerohanian).
9. Mengawasi dan mendorong Sisya agar senantiasa memanfaatkan setiap
waktu luang dalam keseharian, menghindari melamun/menghayal atau membicarakan
hal yang tidak perlu dengan selalu “Eling” kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa
melalui berbagai cara termasuk berjapa dan atau pranayama.
10. Mengawasi dan mendorong
Sisya agar memanfaatkan setiap kesempatan bertemu muka dengan Ida Nabe Werdha/
Ida Nabe untuk memperoleh petunjuk/ pewarah-warah tanpa mengabaikan
etika/susila atau tata susila berhadapan dengan Ida Nabe.
11. Mengawasi dan mendorong
Sisya untuk melaksanakan semua petunjuk, pewarah-warah Ida Nabe dengan taat,
tertib, tekun dan tepat waktu sesuai jadual yang telah ditetapkan.
12. Siap mengevaluai dan
memberi saran kepada Sisya setiap ada kesempatan bertemu, sehingga mendorong
Sisya untuk rajin bertanya dan tekun melaksanakan ajaran, petunjuk maupun tugas
yang telah dilimpahkan.
13. Guru Saksi bertugas
sebagai Nara Sumber dan tetap dalam fungsi sebagai Pembina dan Pengawas pada
saat Ida Nabe Werdha dibantu oleh Ida Nabe melakukan penilaian terhadap Sisya;
terutama pada saat kenaikan jenjang.
14. Guru Saksi wajib
mendorong dan membangkitkan seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa untuk berupaya
mengungkap Jati Diri Maha Warga Bhujangga Waisnawa
15. Guru Saksi wajib
menyampaikan laporan tertulis perekembangan Sisya-Sisya yang berada dibawah
pembinaannya kepada Ida Nabe Werdha/Ida Nabe masing-masing sesuai jadual atau
minimal dalam setahun sekali. Ditembuskan ke Tata Usaha.
16. Ida Rsi yang bertindak
sebagai Guru Saksi di dalam proses Aguron-guron bertugas Mengawasi, meluruskan,
membimbing dan membina sikap dan wacana Ida Rsi Sisya didalam lingkungan
Penabean dan didalam memberi Pelayanan kepada umat agar sesuai petunjuk Ida Ida
Nabe melalui ‘Koordinator Guru Saksi’ dan hasil keputusan Sabha Ageng
yang telah ditetapkan
17. Guru Saksi selalu aktif
berkoordinasi dengan Guru Waktra dari Sisya yang sama.
18. Guru Saksi wajib
mendorong dan membangkitkan seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa untuk berupaya
mengungkap Jati Diri Maha Warga Bhujangga Waisnawa
19. Guru saksi
bertanggung-jawab terhadap kemajuan Sisya sesuai jenjangnya.
Pasal 22.
Syarat Menjadi Guru Pembina
1. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Lanang atau Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
Istri.
2. Telah mencapai Bhujangga Utama; telah 6 (enam) tahun atau lebih
menerima anugrah diksa dan telah 3 (tiga) tahun atau lebih mapulang Lingga dan
telah menerima Piagem BhU-1
3. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang telah mendalami Weda atau Intisari
Agama Hindu dan terutama Ajaran Waisnawa.
4. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa sehat secara fisik dan mental.
5. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sauca dan Santosa; selalu meningkatkan
kesucian lahir dan batin sehingga teruji serta mampu menerima dengan tenang
segala bentuk cemohan maupun pujian dengan tenang dan damai; tidak marah.
6. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang secara sadar dan tulus untuk ikut
membangun dan mengembangkan Penabean Bhujangga Waisnawa.
7. Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang secara sadar dan tulus untuk
menanamkan dan memaknai ajaran Waisnawa bagi Umat Hindu
Pasal 23. .
Bidang Penelitian dan Pengembangan
1.
Bidang Penelitian dan
Pengembangan (LITBANG) adalah perangkat pembantu Ida Nabe Werdha dan Ida Nabe
didalam upaya meneliti Ajaran Kewaisnawan, dan hasilnya untuk dikembangkan ke
masyarakat sebagai pedoman mejalani kehidupan menuju Jagadhita
2.
Bidang Litbang dipimpin
oleh seorang Bhujangga Guru yang telah 6 (enam) tahun atau lebih mendapat
anugrah Diksa; sebagai Kepala LITBANG. Dan dipilih didalam Sabha Ageng.
3.
Kepala Bidang LITBANG
membawahi Bagian Tatwa, Bagian Susila dan Bagian Acara.
4.
Masing-masing Bagian
ditangani oleh Bhujangga yang berbakat di dalam penelitan dan pengembangan.
5.
Masing-masing Bagian
memiliki pembantu Walaka sebagai petugas Administrasi
6.
Penghentian dan
pengangkatan atau penggantian Anggota LITBANG diusulkan oleh Kepala Bidang
Litbang dan penetapannya oleh Ida Nabe Werdha
7.
Bidang Litbang bertujuan
mengambil keputasan penting dan prisip di Penabean Bhujangga Waisnawa, dan
terutama upaya mengungkap Jati Diri Bhujangga Waisnawa.
8.
Hasil Penelitian yang
telah matang akan diajukan kepada Ida Nabe Werda/Ida Nabe untuk diperiksa dan
didalami. Dan bila dianggap memenuhi syarat dan disahkan akan dsebarkan kepada
Guru Pembina melalui Kepala Bidang Tata Usaha, untuk dikembangkan melalui para
Sisya (para Bhujangga).
9.
Bidang Litbang memberi
telaahan terhadap ajaran yang sedang atau telah dilaksanakan didalam
aguron-guron selama ini atau ajaran yang baru datang; apakah merupakan bagian
dari Ajaran Waisnawa atau bukan; atau bahkan bertentangan dengan Ajaran
Waisnawa.
10. Hasil telaahan diajukan kepada Ida Nabe Werdha,
sebagai bahan pembahasan didalam Sabha Madya dan atau Sabha Ageng Ida Rsi
Waisnawa Se-Bali
Pasal 24.
Bidang Tata Usaha
1.
Bidang Tata Usaha adalah
perangkat pembantu Ida Nabe Werdha selaku Pimpinan Penabean didalam
meng-administrasi-kan semua kegiatan Penabean
2.
Bidang Tata Usaha
dipimpin oleh seorang Bhujangga Guru yang telah 6 (enam) tahun atau lebih
mendapat anugrah Diksa; sebagai Kepala Bidang Tata Usaha.
3.
Kepala Bidang Tata Usaha
dipilih dan ditetapkan didalam Sabha Ageng.
4.
Kepala Bidang Tata Usaha
memiliki beberapa petugas Administrasi dari para Walaka.
5.
Semua surat-menyurat,
administrasi ketata-usahaan Penabean Bhujangga Waisnawa ditangani oleh Bidang
Tata-Usaha.
6.
Demi lancarnya Penabean
penggantian Kepala Bidang Tata Usaha dan Kepala Bidang Tata Usaha akibat yang
bersangkutan berhalangan permanen, lebar atau sakit dan tidak mampu
melaksanakan tugas dengan baik; dapat dilakukan oleh Ida Nabe Werdha selaku
penanggungjawab Penabean
Pasal 25.
Sabha Ageng
1. Paruman seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dikenal dengan Sabha
Ageng Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Se-Bali.
2. Sabha Ageng merupakan forum seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
demi terciptanya hubungan harmonis diantara seluruh anggota Penabean Bhujangga
Waisnawa.
3. Sabha Ageng merupakan Forum Tertinggi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa;
dihadiri oleh Ida Ida Sinuhun Nabe, Ida Nabe Werdha, Ida Nabe, Guru Pembina
(Guru Waktra dan Guru Saksi), Kepala Tata Usaha (Kepala Bidang Tata Usaha),
Bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Para Bhujangga yang terdiri
dari Bhujangga Utama, Bhujangga Madya, Bhujangga Anom
4. Sangat diharapkan Sabha Ageng mengahsilkan keputusan yang dapat
mengungkap ajaran Waisnawa atau Jati Diri Bhujangga Waisnawa
5. Penabean Bhujangga Waisnawa sangat mendorong munculnya temuan,
idea atau pendapat baik lisan dan terutama tertulis tentang ajaran Ke-Waisnawan
yang dapat mengungkap Jati Diri Bhujangga Waisnawa
6. Keputusan Hasil Sabha Ageng merupakan Bhisama Penabean Bhujangga
Waisnawa yang mengikat
7. Sabha Ageng dilaksanakan minimal dalam 5 tahun sekali
8. Pelaksanaan Sabha Ageng difasilitasi oleh Moncol Pusat MWBW
Pasal 26.
Sabha Madya
1. Paruman Ida Rsi Bhujangga Waisnawa secara terbatas;
o antara
Ida Nabe, Litbang, Kepala Tata-Usaha dengan para Guru Pembina atau
o antara
Gr. Pembina dengan Para Bhujangga, tanpa atau dengan Ka TU dan Litbang
2. Sabha Madya dilaksanakan terutama untuk mematangkan suatu hasil
temuan Litbang atau demi kebutuhan pengelola Penabean dan kebutuhan lain yang
mendesak.
3. Sabha Madya dapat dilakasanakan untuk membahas berbagai kebutuhan
demi perkembangan Penabean Bhujangga Waisnawa
4. Sabha Madya dilaksanakan untuk membahas berbagai permasalahan yang
ada untuk menemukan solusi demi suksesnya Penabean Bhujangga Waisnawa.
Pasal 27.
Sabha Alit
1.
Paruman terbatas yang
hanya dihadiri para Bhujangga, seluruhnya atau sebagian; dan cenderung bersifat
Dharma Tula untuk saling bertukar pengalaman demi saling menambah dan
meningkatkan pemahaman tentang Ajaran Waisnawa
2.
Sabha Alit dapat juga
dilaksanakan untuk mempersiapkan pelaksanaan Sabha madya atau Sabha Ageng Ageng
dan atau kebutuhan pengelolaan Penabean dan kebutuhan lain yang mendesak.
3.
Sabha Alit dapat
dilaksanakan antara Ida Rsi Bhujangga Waisnawa ditiap Kabupaten atau beberapa
Kabupaten atas Restu Ida Nabe Werdha dan hasilnya segera dilaporkan kepada Ida
Nabe Werdha dan Litbang.
4.
Diharapakan Sabha Alit
dapat dilakukan minimal dalam 1 tahun sekali.
Pasal 28.
Fungsi Sabha
1.
Sabha Ageng berfungsi
untuk mengambil keputusan penting atau Bhisama demi keajegan Penabean Bhujangga
Waisnawa dan demi kenyamanan MWBW dan umat manusia pada umumnya
2.
Sabha Ageng mengambil
keputusan prinsipil dan sangat penting atau Bhisama yang berlaku dan harus
ditaati oleh Seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dan seluruh Maha Warga
Bhujangga Waisnawa.
3.
Sabha Agung mengambil
keputusan prinsipil dan sangat penting atau Bhisama demi kenyamanan dan kesejahteraan
umat Manusia.
4.
Sabha Ageng sebagai
Forum tertinggi di lingkungan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa adalah wadah
Musyawarah diantara sesama Ida Rsi Bhujangga Wainawa didalam upaya tetap
menjaga, menjunjung dan menghormati semua Petunjuk atau Bhisama Ida Nabe.
5.
Sabha Ageng adalah wadah
untuk membahas segala permasalahan yang muncul demi melestarikan Aguron-guron
di Lingkungan Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang merupakan Warisan Adi Luhung.
6.
Sabha Ageng membahas
hal-hal penting yang berkaitan dengan Tattwa, Susila dan atau Acara demi
mengungkap Jati Diri Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
7.
Sabha Ida Rsi membahas
dan mencari solusi semua permasalahan yang muncul dilingkunan Maha Warga
Bhujangga yang berkaitan dengan Agama dan terutama hal-hal yang berkaiatan
dengan Keberadaan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa.
Semua Keputusan Sabha
Ageng merupakan Keputusan Suci atau Bhisama yang mengikat dan harus ditaati
oleh semua Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dan seluruh Maha Warga Bhujangga
Waisnawa.
BAB. V.
SISTEM PENABEAAN
Pasal 29.
Materi Penabean
1. Pada Tahap Pembinaan Calon Diksa materi ditekankan kepada materi
Pendidikan Agama menyesuaikan dengan perkembangan yang ada dimasyarakat.
2. Materinya terbagi dalam Klompok Dasar; Klompok Inti dan Klompok
Penunjang
3. Pada Tahap Aguron-guron materinya khusus tentang Ke-Bhujangga-an
dan Ke- Waisnawa-an yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Ida Nabe.
Pasal 30.
Penyiapan Materi
1.
Penyiapan Materi
Pembinaan Calon Diksa dilakukan oleh Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
2.
Penyiapan Materi
Pembinaan dan penyampaian Materi Pembinaan di dalam proses Aguron-guron menjadi
tanggung-jawab Ida Nabe
3.
Didalam menyiapkan
Materi Pembinaan baik di bidang Tattwa, Susila dan atau Acara, Ida Nabe dibantu
oleh Bidang Litbang.
4.
Didalam penyampaian
Materi untuk upaya pembinaan terhadap Sisya, Ida Nabe dibantu oleh Pembina yang
dipilih oleh Ida Rsi Sisya sendiri, baik sebagai Guru Waktra maupun sebagai
Guru Saksi.
5.
Guru Pembina
berkewajiban membantu Ida Nabe didalan membina Ida Rsi Sisya.
6.
Ikatan pembinaan antara
Guru Pembina dengan Ida Rsi Sisya adalah hubungan kerohaniaan atau hubungan
spiritual.
7.
Guru Waktra dan atau
Guru Saksi mendorong Sisya binaannya untuk melakukan diskusi / Dharma-Tula
dengan Sesama Anggota Bhujangga setara atau jenjang yang lebih tinggi
8.
Pada prinsipnya kemajuan
hasil pembinaan para Sisya melalui teknik penyampaian Materi Aguron-guron
adalah menjadi tanggung-jawab Ida Nabe
Pasal 31.
Bentuk Sistem
1. Dalam upaya mencapai Tujuan sesuai Pasal 7 diatas maka
sistem belajar-mengajar (Aguron-guron) di Penabean Bhujangga Waisnawa dilakukan
penyempurnaan dengan menggabungkan Sistem Pendidikan Agama yang berlaku saat
ini dengan Tradisi Aguron-guron di Lingkungan MWBW
2. Untuk itu secara Garis besar Sistem Penabean ini dibagi menjadi 2
(dua) langkah; yaitu Pembinaan Calon Diksa dan Aguron-guron.
3. Sesuai Hasil Sabha Ageng ke-2 18 Februari 2007 di Tonja Pembinaan
Calon Diksa dilakukan oleh Walaka; dalam hal ini oleh Moncol Maha Warga
Bhujangga Waisnawa dibawah Pengawasan Penabeaan; dimana dimasukkan unsur Agama
sesuai perkembangan terakhir dimasyarakat.
4. Proses belajar-mengajar tetap memanfaatkan tradisi Aguron-guron
Bhujangga Waisnawa yang sepenuhnya dibawah kendali dan tanggung jawab Ida Nabe
Werdha.
5. Pembinaan Calon Diksa dilakukan melalui pendidikan atau
pelaksanaan kursus-kursus dengan maksud sebelum memasuki Aguron-guron Penabean
Bhujangga Waisnawa para calon Sisya didorong untuk menyerap Ilmu Pengetahuan
sebanyak-banyaknya; terutama yang berkaitan langsung maupun tidak langsung
dengan Agama
6. Setelah melalui Pembinaan Calon Diksa dilanjutkan dengan Sistem
Aguron-guron yang telah ada dan berlangsung sampai saat ini.
7. Sejak pelaksanaan Aguron-guron berlaku ketentuan yang sepenuhnya
dikendalikan oleh Ida Nabe Werdha; dalam arti ilmu-ilmu pengetahuan yang
sejalan dengan yang ada dalam Aguron-guron diharapkan dapat mampu
menumbuh-kembangan ajaran kebenaran; sedangkan yang bertentangan ditolak.
8. Dengan menerapkan Sistem Pembinaan Calon Diksa diatas dan menggabungkannya
dengan Tradisi Aguron-guron di Lingkungan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa, berarti
MWBW telah memilih sitem Pendidikan sesuai Hasil Seminar Kesatuan Tafsir
Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV, No. 45 tentang Sistem dan Materi
Pendidikan Kesulinggihan. Namun demikian; terhadap Tradisi Aguron-guron yang
ada juga diadakan penyempurnaan-penyempurnaan.
Pasal 32.
Pelaksanaan
Secara umum Aguron-guron dilaksanakan sebagai berikut
1. Pediksaan sebagai tanda seorang Wana Prasta Asrama mulai
menginjakan kaki pada tahap Bhiksuka Asrama; melaksanakan Aguron-guron.
2. Didalam hal ini ‘diksa’ disamping berarti sebagai inisiasi atau
pembukaan mata batin sehingga berada di“Jalan Tuhan”, juga dimaknai sebagai
‘penerimaan secara resmi menjadi Sisya seumur hidup’ di Penabean Bhujangga
Waisnawa.
3. Dengan resminya seorang Sisya memasuki Aguron-guron seperti
diatas, bermakna bahwa Sisya telah secara mantap, tulus-iklas menerima hubungan
spiritual seumur hidup dengan Ida Nabe Werdha/Ida Nabe.
Pasal 33.
Aguron-guron
1. Aguron-guron atau proses belajar-mengajar diantara Guru dan Sisya
adalah ikatan rohani antara Ida Nabe dan Sisya yang berlangsung seumur hidup.
2. Seseorang Sah menjadi Calon Diksa bila dia telah menjalani tahap
Pembinaan Calon Diksa dan telah mendapat Rekomendasi dari Moncol Pusat MWBW
3. Dan Permohonan penabeannya telah di terima secara resmi oleh Ida
Nabe ditandai dengan penetapan Hari dan Tanggal Rencana Pediksaan secara
tertulis.
4. Aguron-guron diawali dengan upacara Pediksaan; yang pada
hakekatnya merupakan tanda seseorang telah diterima menjadi Sisya dan menjadi
bagian dari proses Belajar-mengajar atau Aguron-gurun di dalam Penabean
Bhujangga Waisnawa.
5. Perjalanan Sisya didalam Aguron-guron akan dilaksanakan secara
bertahap atau berjenjang.
6. Setiap jenjang dilakukan selama 3 (tiga) tahun; mulai dari jenjang
atau Tahap Bhujangga Anom, Bhujangga Madya dan Bhujangga Utama atau Bhujangga
Guru
Pasal 34.
Metode
1. Metoda atau cara Aguron-guron pada prinsipnya sama dengan
Aguron-guron atau belajar mengajar yang telah ada yaitu berupa pembinaan
tentang Tattwa, Susila dan petunjuk-petunjuk tentang muput upacara melalui
tatap-muka langsung.
2. Bentuk Tatap muka dapat dengan memberi ajah-ajahan,
petunjuk-petunjuk atau pewarah-warah dan diskusi atau Dharmatula. Hasilnya
dicamkan dan diterapkan.
3. Penekanannya adalah pada lebih meningkatkan jumlah (kuantitas) dan
mutu (kualitas) pertemuan dengan memanfaatkan Struktur Penabean yang ada.
4. Belajar mengajar dan Dharmatula dapat dilakukan antara Ida Nabe
dengan Bhujangga, Pembina dengan Bhujangga, Bhujangga se-jenjang, antara
Bhujangga berbeda jenjang.
5. Atas kehendak sendiri para Bhujangga dapat meminta petunjuk atau
pertimbangan dan berdharmatula dengan Sesama Bhujangga se-jenjang atau
Bhujangga yang lebih tinggi.
Pasal 35.
Pentahapan dan Waktu
1. Untuk memudahkan pembinaan Sisya demi pencapaian mutu yang masimal
dan menuju hasil yang seragam, maka terhadap para Sisya dilakukan penjenjangan.
2. Penjenjangan atau kenaikan jenjang dilakukan setiap 3 (tiga) tahun
atas evaluasi dan penilaian terhadap prestasi dan kemajuan spiritual kepada
masing-masing Sisya; terhitung sejak hari Pediksan atau sejak penerimaan Piagem
sebelumnya.
3. Dengan adanya penjenjang terhadap Sisya maka proses
belajar-mengajar dan dharma tula antara sesama Sisya; dapat dilakukan dengan
Sisya yang lebih tinggi jenjangnya dan antara sesama Sisya satu jenjang.
4. Masing-masing jenjang ditandai dengan penganugrahan Piagem oleh
Ida Nabe Werdha:
a. Piagem-1
o Piagem
ini dianugrahkan kepada Sisya-Anyar oleh Ida Nabe Werdha atau yang ditugaskan,
bersamaan dengan penyerahan Bhiseka Sisya bersangkutan
o Piagem
ini sebagai tanda Sisya bersangkutan mulai memasuki Bhiksuka Asrama dan menjadi
Anggota Bhujangga Anom
o Anggota
Bhujangga Anom (BhM) adalah Ida Rsi Bhujangga Waisnawa (Sisya) yang baru
mendapat diksa sampai sehari menjelang melaksanakan upacara mepulang lingga.
Mepulang Lingga dilaksanakan 3tahun setelah diksa.
b. Piagem-2
o Piagem
ini dianugrahkan kepada Sisya oleh Ida Nabe Werdha atau yang ditugaskan, bagi
yang telah berhasil melaksanakan upacara Mepulang Lingga.
o Piagem
ini sebagai tanda Sisya menjadi Anggota Bhujangga Madya
o Anggota
Bhujangga Madya (BhM) adalah Sisya yang telah melaksanakan upacara
Mepulang Lingga sampai sehari menjelang menerima Piagem-3.
c. Piagem-3
o Piagem
ini dianugrahkan oleh Ida Nabe Werdha atau yang ditugaskan; kepada Sisya yang
telah 6 tahun memperoleh anugrah diksa dan telah 3 tahun melaksanakan upacara
Mepulang Lingga serta dinilai proses Aguron-guron-nya sebagai Anggota Bhujangga
Madya (BhM) berlangsung dengan baik.
o Piagem
ini sebagai tanda Sisya bersangkutan menjadi Anggota Bhujangga Utama-1 (BhU-1).
o Anggota
Bhujangga Utama-1 adalah Sisya yang baru lepas sebagai Bhujangga Madya sampai
sehari menjelang berhak menerima Piagem Utama-2 (BhU-2).[5]
d. Piagem (BhU-2, BhU-3, BhU-4
. . . .) dan selanjutnya; Ida Ida Nabe akan berkenan
menganugrahkan Piagem kepada Ida Rsi Sisya yang dinilai patut menerima kenaikan
jenjang.
5. Setiap Sisya atau Bhujangga mengajukan permohonan Penilaian kepada
Ida Nabe Werdha melalui Ida Nabe yang bersangkutan, minimal sebulan sebelum
waktu penjenjangan tiba.
6. Sekema Tingkatan atau Penjenjang dihitung sejak saat menerima
anugrah Diksa; sebagai berikut:
No
|
JENJANG
|
No
|
JENJANG
|
1.
|
(0 tahun<Bhujangga Anom<3
tahun )
|
4.
|
(9 tahun<Bhujangga Utama-2<12
tahun)
|
2.
|
(3 tahun<Bhujangga Madya<6tahun
)
|
5.
|
(12 th <Bhujangga Utama-3 <15
tahun)
|
3.
|
(6 tahun<Bhujangga Utama-1<9
tahun)
|
6.
|
(15 th <Bhujangga Utama-4 <18
tahun)
|
|
|
|
dan seterusnya
|
7. Bhujangga Utama juga disebut sebagai Bhujangga Guru; karena sejak
saat menginjakan kaki di Jejang Bhujangga Utama beliau telah berhak dipilih
sebagai Guru Pembina
Pasal 36.
Makna Penjenjangan
1.
Penjenjangan Bhujangga
ini pada hakekatnya bermakna menjaga dan mengikat hubungan spiritual/kerohanian
yang penuh dengan Susila atau kesantunan diantara sesama Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa di lingkungan Penabean Bhujangga Waisnawa.
2.
Ikatan persaudaraan atau
hubungan spiritual ini dilandasi niat tulus-iklas untuk bersama-sama belajar
menekuni dan melaksanakan Ajaran Waisnawa.
3.
Ikatan persaudaraan atau
hubungan spiritual ini merupakan lanjutan pelaksanaan Asuci-Laksana pada saat
menjelang menerima Diksa atau Insiasi.
4.
Asuci-Laksana pada intinya
adalah selalu eling kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa
dengan cara selalu tekun bersembahyang, bermeditasi dan berjapa; melakukan
perjalanan spiritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
5.
Asuci-Laksana juga
adalah Tapa-Brata untuk menjaga, meningkatkan, memelihara Kesehatan Stula
Sarira (Fisik) dan Mental dengan menerapkan Panca Yama Brata dan Panca Niyama
Brata demi memperlancar pelaksanaan dan perkembangkan spiritual /rohani
sehingga selalu meningkatkan kesucian lahir batin (sauca) sehingga tetap tenang
-damai, tanpa gejolak emosi (sentosa) dan sejahtera menjalani kehidupan ini.
6.
Bhujangga Utama tetap
berjenjang masing-masing selama 3 (tiga) tahun; mulai dari Bhujangga
Utama-1penerima Piagem BhU-1; BhU-2; BhU-3; BhU-4 dan seterusnya.
BAB. VI.
PEMBINAAN CALON DIKSA
Pasal 37.
Wewenang dan Tugas
1. Wewenang Pembinaan Calon Diksa dilimpahkan kepada Moncol MWBW
didalam Sabha Ageng Ida Rsi Bhujangga Ke-2, tanggal 18 Februari 2007 di Pura
Pauman MWBW Banjar Sengguan, Kelurahan Tonja; Denpasar Utara.
2. Didalam Aguron-guron tugas Moncol terutama memfasilitasi
Pelaksanaan Pediksan dan Sabha Ageng Ida Rsi Bhujangga Waisnawa.
3. Ida Nabe Werdha berkenan untuk meminta kepada Moncol Pusat MWBW
agar segera memfasilitasi pelaksanaan Sabha; terutama pelaksanaan Sabha Ageng.
4. Bila tiba maktunya Moncol Pusat MWBW bertugas mempertimbangkan
untuk memfasilitasi pelaksanaan Sabha Ida Rsi Waisnawa
Pasal 38.
Program Pembinaan
Secara Garis besar Pembinaan Calon Diksa dilaksanakan bertahap
sebagai berikut.
1. Kursus Calon Pemangku (Pinandita; K1) dilakukan oleh Moncol
Kabupaten/Kota.
2. Magang menjadi Pemangku dibawah bimbingan dan pengawasan oleh
seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnwa yang telah pada jenjang Bhujangga Guru.
3. Kursus Calon Pandita (K2) dilakukan oleh Moncol Pusat MWBW.
4. Pemantapan Calon diksa dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh
Moncol Pusat MWBW dan didalamnya telah berperanan unsur Penabean, Bidang
Kepanditaan di Kemoncolan, unsur cendikiawan dan unsur Kemoncolan
Kabupaten/Kota
Pasal 39.
Peranan Moncol
Peranan Moncol MWBW Pada
Pembinaan Calon Diksa
1. Pembinaan Calon Diksa menjadi bagian upaya mendorong seluruh MWBW
agar sadar, bangkit penuh semangat serta niat tulus-iklas berupaya mencapai
Moksa; Tujuan Agama Hindu.
2. Merencanakan secara cermat Program Pembinaan Calon Diksa
3. Demi keseragaman Kurikulum dan Silabus Pendidikan baik untuk
Kursus Pinandita (K1) maupun Kursus Pandita (K2) disiapkan oleh Moncol Pusat
4. Moncol Kabupaten/Kota melaksanakan Kursus Calon Pinandita (K1)
minimal sekali dalam 2 tahun.
5. Moncol MWBW Pusat melaksanakan Kursus Calon Pandita (K2) minimal
sekali dalam 5 tahun.
6. Masing-masing Moncol menyiapkan segala materi penunjang
Pelaksanaan Kursus diatas
7. Melakukan seleksi akhir sesuai Tugas Pemantapan Calon Diksa dengan
petunjuk Ida Nabe Werdha atau melibatkan Ida Rsi Bhujanga Waisnawa yang beliau
tugaskan
8. Ikut memfasilitasi untuk medharma suaka.
9. Memfasilitasi dan memperlancar pelaksanaan Diksa pariksa dan
Padiksan
Pasal 40.
Penerimaan Sisya
1.
Memperhatikan bahwa
menjalani Bhiksuka Asrama adalah hak setiap umat Hindu demi mencapai Tujuan
Agama Hindu, maka setiap anggota MWBW yang dengan sepenuhnya bertujuan
semata-mata untuk menyucikan diri demi mencapai Tujuan Agama Hindu; berhak
menjadi Calon Sisya.
2.
Namun bila diantara
mereka dibutuhkan untuk memberi pelayanan oleh Umat atau masyarakat umum, baik
sebagai pemuput yadnya (Nglokapala Sraya) atau Pedarma-Wacana (Dang Acarya);
ijinnya ditetapkan oleh Ida Nabe.
3.
Dengan demikian Secara
Umum Penerimaan Calon Diksa diatur sebagai berikut:
a. Calon Diksa atau Calon Sisya adalah setiap Maha
Warga Bhujangga Waisnawa yang telah sadar dan berniat secara tulus-iklas dan
sepenuh hati untuk menjalani Bhiksuka Asrama.
b. Angga Griya maupun bukan Angga Griya; yang belum menjadi Pemangku
maupun yang sudah menjadi Pemangku.
c. Sangat diharapkan Calon Diksa telah mengikuti
Pendidikan di Perguruan Tinggi (S1, S2 dan seterusnya); apalagi Sarjana Agama
Hindu
d. Calon Sisya adalah sepasang Suami-istri; perorangan laki-laki
maupun perempuan.
e. Calon Sisya adalah laki-laki maupun perempuan
yang telah cerai dari perkawinannya; yang telah berketetapan hati dan memiliki
niat serius, tulus dan iklas untuk memasuki Bhiksuka Asrama
4.
Dalam Jangka Pendek
sangat diutamakan kepada Kabupaten dan atau Kecamatannya masih belum ada Ida
Rsi Bhujangga Waisnawa untuk menjadi Sisya
5.
Bagi Sisya yang memilih
ingin nglokapala sraya disyaratkan minimal telah berumur 40 tahun.
6.
Pada usia lebih dari 40
tahun seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa baru ditetapkan untuk mendapat Ijin
Nglokapalasraya dari Ida Nabe Werdha.
Pasal 41.
Kursus Calon Pinandita (K1)
1. Kursus Calon Pinandita diselenggarakan Moncol MWBW Kabupaten/Kota
2. Bagi Kabupaten yang jumlah Ida Rsi BW terbatas atau bahkan nihil
atau belum/ tidak merata di tiap Kecamatan, Moncol MWBW Kabupaten setempat
patut menyiapkan rencana yang matang untuk mendorong Warga mengikuti Program
ini, serta menggalakan pelaksanaan Kursus Calon Pinandita.
3.
Calon Peserta Kursus
wajib mendaftarkan diri pada Moncol Kabupaten/Kota atau Panitya Pelaksana
Kursus Calon Pinandita yang telah ditunjuk
2. Waktu atau saat Pelaksanaan Kursus disesuaikan dengan keadaan
setempat.
3. Lama/waktu Pelaksanaan Kursus diikat oleh jumlah jam pertemuan dan
panjang waktu pertemuan/ tatap muka belajar-mengajar, sesuai dengan ketentuan
dalam Kurikulum.
4. Peserta Kursus Calon Pinandita yang mengikuti kursus dengan baik
sesuai ketentuan Panitia; akan diberikan Sertifikat tanda telah Lulus
mengikuti Kursus Pinandita (K1).
Pasal 42.
Ekajati
1. Setelah menyelesaikan Kursus Calon Pinandita dengan baik,
memperoleh Sertifikat K1, Peserta Pembinaan Calon Diksa patut melanjutkan untuk
(magang) menjadi Pemangku dibawah bimbingan dan Pengawasan oleh seorang
Bhujangga Guru
2. Pawintenan Eka Jati dilaksanakan oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
/Bhujangga Guru bersangkutan atau yang ditunjuk.
3. Lama menjalani magang sebagai Pemangku ini minimal selama 6 (enam)
bulan.
4. Penyelesaian Magang sebagai Pemangku dibawah bimbingan dan
Pengawasan oleh seorang Bhujangga Guru ditandai dengan Penyerahan sebuah Karya
Tulis Tentang Yadnya di Lingkungan MWBW.
5. Karya Tulis sangat diharapkan dan dapat dibahas didalam Kursus
Calon Pandita (K2)
6. Karya Tulis yang berkaiatan dengan upaya mengungkap Jati Diri
Bhujangga Waisnwa, sangat berpeluang untuk dibahas didalam Sabha Madya dan bila
Rumusannya memadai lanjut menjadi Bahan Bahasan di dalam Sabha Ageng Ida Rsi
Seluruh Bali.
Pasal 43.
Kursus Calon Pandita (K2).
1. Kursus Calon Pandita diselenggarakan Moncol MWBW Pusat/Provinsi.
2. Calon Peserta Kursus wajib mendaftarkan diri pada Moncol MWBW
Pusat/Provinsi atau Panitya Pelaksana Kursus Calon Pandita yang telah ditunjuk
dengan menunjukan Sertifikat Tanda telah mengikuti Kursus Pinandita (K1) dan
surat keterangan sedang menjalani atau Sertifikat telah selesai menjalani
Magang sebagai Pemangku.
3. Waktu atau saat Pelaksanaan Kursus disesuaikan dengan keadaan
setempat.
4. Lama waktu Pelaksanaan Kursus diikat oleh jumlah jam pertemuan dan
jumlah waktu pertemuan/tatap muka belajar-mengajar, sesuai dengan ketentuan
dalam Kurikulum.
5. Materi Pendidikan pada prinsipnya terdiri dari Materi Klompok
Dasar; Klompok Inti; Klompok Penunjang.
6. Diminta atau tidak diminta Ida Nabe Werdha langsung atau melalui
petugas yang ditunjuk oleh beliau dapat menyempurnakan Materi Pendidikan dan
menugaskan beberapa Ida Rsi Bhujangga Waisnawa sebagai Guru/Tutor[6].
7. Peserta Kursus Calon Pandita yang mengikuti kursus secara baik
sesuai ketentuan yang ditetapkan Penyelenggara; akan diberikan Sertifikat tanda
telah lulus mengikuti Kursus Calon Pandita (K2).
Pasal 44.
Pemantapan Calon Diksa
1. Pemantapan Calon Diksa ini merupakan tahap terakhir dari Pembinaan
Calon Diksa.
2. Bila saatnya tiba, sesuai yang telah diprogramkan; 7,5 (tujuh
setengah) bulan sebelum Rencana Pediksan, Calon Diksa harus telah melapor
kepada Moncol Pusat MWBW, untuk dapat melaksanakan Pemantapan Calon Diksa.
3. Pada prinsipnya lokasi pemantapan adalah di Griya Calon Diksa dan
pada keadaan tertentu dapat dilakukan menurut kesepakatan dan sesuai
Desa-Kala-Patra.
4. Dalam Pemantapan Calon Diksa ini dilaksanakan pembinaan Fisik dan
Administrasi berkait dengan upaya Calon Diksa menerima diksa; terutama
kesehatan dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum, finansial, kekerabatan, dan
adat. Antara lain:
a.
Pengecekan dan upaya
untuk menjaga kesehatan fisik dan mental Calon Diksa
b.
Pengecekan Hubungan
Keluarga, Pengalaman Pendidikan, Pekerjaan dll (cv?)
c.
Juga terhadap kewajiban
sesuai Rama Rena, Putra Sesana dan Pitra Rena.
d.
Keterikatan pada hal
yang bersifat financial, seperti kontrak, utang-piutang, perjanjian/
kesepakatan dan atau kewajiban lain.
e.
Ikatan dengan Banjar
Pekraman seperti “ayahan Banjar” dan lain-lain, baik terhadap Desa Pekraman
maupun Pura
f.
Dukungan didalam
melaksanakan Bhisuka Asrama dari keluarga terdekat (tegak Griya), sampai
lingkungan keluarga yang lebih luas atau masyarakat lainnya.
g.
Sebaiknya Calon Diksa
telah memiliki jaminan atau dukungan finansial dalam menjalani tahap Bhisuka
Asrama, seperti ‘dana pensiun’, secutak tanah yang menghasilkan (Sengker
Kendeng) atau bentuk yang lainnya.
h.
Sepatutnya Calon Diksa
mempunyai rencana Medharma-Suaka kepada Keluarga terdekat sampai keluarga
terluar dan atau masyarakat sekitar Griya
5. Demi upaya pengungkapan Jati Diri Bhujangga Waisnawa, peserta
Pemantapan Calon Diksa menyusun sebuah Karya Tulis yang berciri-khas Waisnawa.
6. Karena disusun didalam upaya memupuk semangat untuk menyucikan
diri, Karya Tulis diharapkan berbobot dan pantas dibahas pada Sabha Ageng Ida
Rsi Bhujangga.
7. Karya Tulis ini dapat menjadi kelanjutan atau penyempurnaan dari
karya tulis sebelum-nya. Dan bagi Calon Sisya yang tidak magang menjadi
Pemangku karena telah lama dan berpengalaman menjadi Pemangku; karya Tulisnya
menjadi sangat diharapkan untuk mengungkap Jati Diri Bhujangga Waisnawa.
8. Karya Tulis diserahkan kepada Tim Pemantapan Calon Diksa untuk disampaikan
kepada Penabean Bhujangga Waisnawa cq Bidang Litbang dan Bidang Tata Usaha.
9. Sebagai tanda keberhasilan menjalani Pemantapan Calon Diksa ini
Moncol Pusat MWBW akan mengeluarkan Rekomendasi untuk mengajukan Permohonan
Penabean.
10. Permohonan Penabean
sudah dapat diajukan setelah Rekomendasi Moncol Pusat MWBW diterbitkan
Pasal 45.
Petugas atau Tim Pemantapan Calon Diksa
1. Tim Pemantapan Calon Diksa beranggotakan Bidang Kesulinggihan
Moncol Pusat dan Cendikiawan MWBW dibawah koordinasi Ketua Moncol bersangkutan
(Atasan Bidang Kesulinggihan) dan Ida Rsi Bhujangga Wisnawa yang ditunjuk atau
ditugaskan oleh Ida Nabe Werdha.
2. Tim ini juga menjadi nara sumber didalam Ida Nabe Werdha melakukan
seleksi terhadap Calon Diksa; menuju Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Ngraga;
Nglokapala Sraya atau Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Acarya
3. Waktu 7,5 bulan untuk Pembinaan Calon Diksa mempertimbangkan:
a. Persiapan pembentukan Tim Pemantapan Calon
Diksa;
b. Pembinaan fisik-Administrasi selama 3 bulan;
c. Pendaftaran ke PHDI minimal 3 bulan sebelum
Pediksan dan
d. Persiapan (mental) untuk menerima diksa selama 3 bulan
BAB. VII.
PERSIAPAN PEDIKSAN
Pasal 46.
Permohonan dan persetujuan Pediksan
1. Permohonan jadi Sisya, dapat segera diajukan kepada Ida Nabe
Werdha selaku Pemimpin Penabean Bhujangga Waisnawa setelah menjalani Pemantapan
Calon Diksa dan mendapat Rekomendasi dari Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga
Waisnawa.
2. Penerimaan atau perkenan beliau menjadi Nabe; memenuhi permohonan
Calon Diksa; disampaikan secara tertulis.
Pasal 47.
Memilih Nabe
1. Mereka yang telah mendapat Rekomendasi Moncol MWBW Pusat tanda
telah menjalani Pemantapan Calon Diksa dengan baik, dapat mengajukan permohonan
tertulis kepada Penabean Bhujangga Waisnawa.
2. Calon Sisya dapat memilih Ida Nabe Werdha atau Ida Nabe lainnya
untuk berkenan dimohonkan sebagai Nabe; namun persetujuan tertulis dikeluarkan
Penabean BW
3. Pada prinsipnya Calon Sisya dapat memilih Ida Nabe sesuai dengan
keyakinannya. Namun Calon Sisya patut mencermati berbagai ketentuan dan dewasa
yang ada, termasuk:
a. menghindari agar Ida Nabe bersangkutan tidak
melaksanakan diksa lebih dari 1(satu) kali dalam 1 (satu) ‘Sasih Linggih
Dewasa’
b. mengajukan permohonan agar berkenan menjadi Nabe; minimal 3 (tiga)
bulan sebelum Pediksan.
c. mempertimbangkan pula bahwa permohonan Diksa
Pariksa kepada PHDI harus diajukan 3(tiga) bulan sebelum Padiksan
4. Dengan mengedepankan “susila”, santun, penuh rasa hormat dan
bhakti; Calon Sisya mengadakan pendekatan kepada Ida Nabe Werdha atau Ida Nabe
pilihannya, memohon agar beliau berkenan menjadi Nabe/ berkenan menerima
dirinya sebagai Sisya beliau.
5. Ida Nabe yang berkenan menjadi Calon Nabe seorang Calon Sisya
segera melapor ke Ida Nabe Werdha dan tembusannya disampaikan kepada Kepala
Tata Usaha Penabean Bhujangga Waisnawa, untuk dibuatkan tanda penerimaan
sebagai Sisya
6. Penetapan Penerimaan secara resmi seseorang menjadi Calon Sisya
Penabean Bhujangga Waisnawa hanya dilakukan Ida Nabe Werdha sebagai
penanggung-jawab Penabean Bhujangga Waisnawa.
7. Persetujuan Pediksan dan yang melaksanakan Diksa atau inisiasi;
tanda diterimanya seseorang sebagai peserta Penabean Bhujangga Waisnawa secara
Resmi ada di tangan Ida Nabe Werdha.
8. Bhiseka setelah diksa adalah “Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa”; selengkapnya sesuai anugrah Ida Nabe.
9. Dalam keadaan Ida Nabe berhalangan atau sakit terutama pada saat
Upacara Pediksan, beliau berkenan memohon /menunjuk satu diantara Ida Nabe
lainnya.
10. Penilaian dan penetapan
perubahan setatus, penghargaan/apresiasi terhadap kemampuan setiap Sisya
Penabean seperti Ngalinggihang Weda, Mapulang Lingga dan seterusnya ada di
tangan Ida Nabe bersangkutan; Piagem dikeluarkan oleh Ida Nabe Werdha.
Pasal 48.
Memilihan Guru Pembina
1. Pemilihan Guru Pembina oleh Sisya atas persetujuan Ida Nabe;
minimal 3 (tiga) bulan menjelang menerima inisiasi atau upacara Pediksan
2. Pemilihan Guru Pembina baik Guru Waktra maupun Guru Saksi
dilakukan oleh Calon Sisya setelah yang bersangkutan mendapat persetujuan
tertulis dari Ida Nabe yang berkenan menjadi Guru Nabenya.
3. Calon Sisya dapat memilih sendiri Guru Pembina atas pertimbangan
kemudahan Calon Sisya didalam menerima dan menyerap materi Aguron-guron
selanjutnya.
4. Penetapan Guru Pembina dilakukan oleh Ida Nabe Werdha atas
berbagai pertimbangan termasuk keberadaan Calon Guru Waktra dan Calon Guru
Saksi; melalui persetujuan tertulis.
5. Pembina Sisya adalah Bhujangga Guru yang dipilih oleh Sisya
sendiri secara bebas untuk menjadi Guru Waktra atau Guru Saksi dengan tetap
mempertimbangkan kemudahan pembinaan dan pengawasan didalam belajar dan
memahami Ajaran Waisnawa yang menjadi keyakinan sekaligus ciri dari MWBW.
6. Bagi Sisya yang memilih Guru Pembina agar memperhatikan pula Pasal
19, Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22
Pasal 49.
Penetapan Jadual /Dewasa Padiksan
1. Selanjutnya atas permohonan Calon Diksa Ida Rsi Bhujangga Nabe
segera berkenan memberi Dewasa Pediksan (Hari-H) setelah jawaban tertulis
sebagai Calon Sisya Penabean Bhujangga Waisnawa diterbitkan.
2. Berikutnya Beliau berkenan menyampaikan Garis Besar Jadual
Rangkaian Upacara Pediksan atau Bantang Dewasa
3. Bantang Dewasa meliputi langkah-langkah Utama (pokok) dalam
pediksan, seperti Mapajati ke Griya Nabe; Ngawit Asuci Laksana; Macaru di
(calon) Griya; Padiksan. (Ngalinggihang Weda; Mapulang Lingga).
4. Jadual lebih rinci sangat berkait dengan keberadaan Calon Diksa
disusun dan diajukan oleh Panitya Pelaksana Pediksan kepada Ida Nabe Werdha
untuk mendapat persetujuan.
5. Penetapan tempat, Bantang Dewasa (waktu) dan rangkaian upacara
Pediksan sepenuhnya ada di tangan Ida Nabe Werdha
6. Beliau juga akan memberi petunjuk dan menetapkan urutan prosesi
yang harus dilakukan Calon Diksa sebelum dan sesudah upacara Pediksan.
Pasal 50.
Mapejati Ke Mrajan Griya Ida Sinuhun Nabe
1. Mapejati atau menghaturkan pejati sebagai pernyataan dengan ‘niat
tulus-iklas’ untuk menjadi Sisya secara sekala dan terutama niskala di Merajan
Griya Ida Nabe (Werdha).
2. Mapejati atau menghaturkan pejati ke Griya Ida Sinuhun Nabe
diantar oleh Ida Nabe Werdha dan atau Ida Nabe[7]
3. Mapejati ke Griya Guru Waktra dan juga Griya Guru Saksi.
4. Waktu mapejati ini adalah merupakan kesempatan Calon Diksa untuk
memohon Pewarah-warah (petunjuk) lebih lanjut dari Ida Nabe dan atau Guru
Pembina
Pasal 51.
Asuci Laksana
Disamping Desa-Kla-Patra ada 3 faktor utama lainnya yang
menentukan keberhasilan Padiksan, antara lain Kemampuan (Kesucian) Ida
Nabe, Kesiapan (kesucian) Sisya dan Metoda Inisiasi (Pediksaan).
Menurut Astangga Yoga pondasi bagi mereka akan menjalankannya Diksa adalah
Panca Yama Brata. Setiap orang yang menjalani Kebujanggan/ Bhiksuka Asrama
patut menyucikan diri melalui brata/pengendalian diri; baik pikiran, ucapan dan
laksana; sebagai berikut:
1. Ahimsa, Pantang melakukan kekerasan; melatih diri secara bertahap
tapi pasti untuk tidak melakukan kekerasan; sejak dari berpikir, berucap dan
bertindak, agar pada saatnya nanti mampu bersikap menghidari kekerasan bahkan
anti kekerasan.
2. Satyam, Pantang Berbohong.; melatih diri secara bertahap; sejak
dari berpikir, berucap dan bertindak, untuk melenyapkan kebiasaan berbohong dan
selalu berpegang kepada Kebenaran.
3. Asteya, Pantang Mencuri; melatih diri secara bertahap; sejak
dari berpikir, berucap dan bertindak; untuk tidak menginginkan milik orang lain
dengan cara tidak benar, termasuk mengambil milik orang lain tanpa ijin
pemilikinya.
4. Brahmacarya, Pantang Selingkuh; pada tahap
mencari Brahman ini patut melatih diri secara bertahap; sejak dari berpikir,
berucap dan bertindak; untuk mengendalikan nafsu, terutama nafsu birahi;
menghindari penyimpangan seks termasuk selingkuh.
5. Ahara Lagawa; melatih diri secara bertahap; sejak dari
berpikir, berucap dan bertindak; untuk iklas hanya mengkonsumsi makanan
sederhana. Pantang mengkonsumsi makanan atau minuman yang dapat merusak
fisik/tubuh maupun mental/ pikiran seperti alkohol, rokok apalagi obat-obatan
terlarang seperti Narkoba.
Pasal 52.
Waktu dan Sasaran
1. Asuci Laksana patut sudah dimulai atau dilakukan minimal 3(tiga)
bulan sebelum Diksa; sejak awal berniat untuk melaksanakan Diksa, sehingga pada
saatnya telah siap menerima Diksa.
2. Asuci Laksana bertujuan untuk mempersiapkan diri secara Fisik,
Mental dan Spiritual agar dapat menerima diksa dengan baik.
3. Penyucian Angga/Fisik (Stula Sarira); menjaga kebersihan dan atau
menjaga Kesehatan Tubuh, serta mengkonsumsi makanan sehat dan Satwika
4. Penyucian Mental (Lingga Sarira); melalui tapa-brata, temasuk
menerapkan Panca Yama Brata
5. Penyucian Batin/Rohani (Karena Sarira), lebih tepatnya upaya
pengungkapan Jati Diri melalui membiasakan diri untuk hening (bermeditasi)
secara rutin. Bermeditasi sekitar 30 menit dalam sehari; terutama pada waktu
tiga atau trisandya dan berjapa memanfaat-kan setiap waktu lenggang atau
istirahat/jeda.
Pasal 53.
Puncak Asuci Laksana
1. Diawali dengan ‘madewasa’ masuci ring Suranadi; mandi di sumber
air yang suci atau sungai yang tidak dicemari oleh kegiatan manusia maupun
binatang; seperti tidak dikotori limbah air buangan sawah (yeh pengutangan uma)
dan kegiatan lainnya.
2. Meyasa Ring Pertiwi; berupa ‘turu ring lemah’ atau tidur dilantai
yang datar tanpa bantal selama 3 (tiga) hari, disertai upawasa dan mona brata.
o Penganut
Waisnawa patut menghormati Pertiwi sebagai wahana kehidupan semua makhluk,
berkait dengan manifestasi Tuhan sebagai pemelihara.
o Turu
ring lemah; bermakna membiasakan diri berlatih ‘sawa asana’, tidur tertelentang
dengan posisi tulang belakang lurus; salah satu sikap fisik dalam melaksanakan
meditasi. Mempersiapkan diri menghadapi pelaksanaan ‘amati raga’ menjelang
pediksan.
o Upawasa
dan mona-brata adalah upaya pengendalian lidah untuk memperoleh makanan satwika
demi kesehatan dan kebijaksanaan serta pengendalian dalam berwacana. (Lidah
mempunyai fungsi ganda; sebagai pengecap dan bicara.)
Pasal 54.
Mecaru
1. Penyucian tidak saja dilakukan pada diri Calon Diksa tetapi juga
terhadap Pekarangan Rumah/Griya sehingga dengan demikian diperoleh wadah
kehidupan suci atau Griya Suci-nirmala didalam menjalani kehidupan Suci yang
akan datang, dengan Caru.
2. Caru umumnya ditujukan untuk penyucian seluruh Pekarangan Griya
dan penyucian tempat melaksanakan Amati raga. (Termasuk penyucian badan
Wadah/stula Sarira?)
3. Mengenai waktu/padewasan dan tempat pecaruan ditentukan oleh Ida
Nabe Werdha/Ida Nabe; berkait dengan jadual Pediksan
Pasal 55.
Tirta Yatra
1. Tirta Yatra, perjalanan suci ke Pura-Pura Bhujangga Waisnawa
mapakeling dan mohon wara nugraha ring Para Leluhur.
2. Sepatutnya dikaitkan dengan napak tilas; menyelusuri perjalanan
suci para Leluhur Bhujangga Waisnawa yang ditandai dengan ‘nunas kakuluh’
3. Tirta Yatra juga dapat bermakna berlatih diri untuk mampu
menikmati keagungan Alam Semesta; belajar dari Alam Semesta.
4. Walaupun diyakini beliau berada dimana-mana; namun mendatangi
Linggan Ida Para Leluhur akan membawa Calon Diksa kesuasana tenang, nyaman jauh
dari kebisingan.
5. Semua patut dilakukan dengan tulus-iklas tanpa ada rasa tertekan
atau keterpaksaan sehingga tujuan melaksanakan Tirtayatra tercapai
Pasal 56.
Diksa Pariksa
1. Sesuai Ketentuan Parisada Hindu Dharma Indonesia, bahwa pengajuan
permohonan Diksa Pariksa kepada PHDI paling lambat 3 Bulan sebelum Rencana
Pediksan.
2. Permohonan ke PHDI dilengkapi dengan Rekomendasi dari Moncol Pusat
MWBW
3. Pada Prinsipnya Pediksan adalah wewenang Nabe;
4. PHDI lebih bersifat membina dan mengayomi sehingga didalam Diksa
Pariksa PHDI lebih menekankan kepada hal yang bersifat administrasi dan hal-hal
yang berkait dengan pelayanan umat, antara lain meliputi:
a.
Wawasan menuju pelayanan
umat yang lebih luas dan pergaulan antar umat beragama (termasuk dengan Umat
diluar Hindu)
b.
Kesiapan dan dukungan
Keluarga dari lingkungan terkecil menuju yang lebih luas.
c.
Dukungan Banjar Pekraman
sampai dukungan Desa Pekraman.
d.
Kondisi Griya, termasuk
tata-letak Bagunan berkait dengan pelayanan umat
5. Calon Diksa patut menyiapkan diri dan belajar dari pengalaman atau
tradisi yang dilaksanakan PHDI pada masing-masing Kabupaten/Kotta (Desa Kala
Patra)
Pasal 57.
Mapamit
1. Mepamit bermakna bahwa Sang Calon Diksa menyadari akan berusaha
melepaskan diri dari segala ikatan duniawi, termasuk ikatan sanak-keluarga,
sebagai anak, saudara, ayah-ibu di dalam keluarga dan bahkan di lingkungan
Banjar dan Desa selama ini, karena akan memasuki Bhiksuka Asrama; melaksanakan
kehidupan suci sebagai Ida Rsi Bhujangga Waisnawa.
2. Mepamit secara resmi ini dilakukan kehadapan Ayah-Ibu, paman-bibi,
saudara, anak-anak dan keluarga dekat lainnya. Sepatutnyalah pamitan dan
sungkeman dilakukan dengan tulus-iklas, terutama kepada ayah-ibu, paman dan
bibi serta kepada saudara tua.
3. Mapamit juga kepada anggota Banjar melalui Kelihan dan Prajuru;
merajan Banjar.
4. Mepamit kepada seluruh Warga Desa umumnya dilakukan melaui Bendesa
dan atau mepamit ke Kahyangan Tiga Desa setempat.
BAB. VIII.
PADIKSAN
Pasal 58.
Amati Raga
1. Amati raga merupakan persyaratan pokok dan persiapan akhir bagi
Calon Diksa untuk menerima Diksa
2. Pada hari pelaksanaan Amati Raga, sejak pagi hari sang Calon Diksa
berdua patut melaksanakan upawasa dan mona-brata untuk dapat lebih focus pada
Amati-raga
3. Galah atau dauh pelaksanaan Amati Raga ditentukan oleh Ida Nabe
4. Tempat pelaksaan Amati raga diupayakan agar betul-betul bebas dari
kesibukan lainnya, senyap dan aman dari segala gangguan termasuk ganguan suara.
5. Prosesnya dilaksanakan dan diawasi oleh seorang Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa atau lebih; baik bimbingan di dalam mengawali (turu), pelaksanaan dan
mengakhiri (tangi).
6. Sang Amati Raga mabusana sarwa petak/putih, agak longgar agar
dapat bersikap sawa-asana dengan bebas dan baik.
7. Pelaksanaannya bermakna menyucikan diri, melepaskan semua mala
yang ada.
8. Istilah Amati Raga dapat juga bermakna Sang Atman keluar dari
‘werangka’ atau Stula Sarira. Paling tepat bila Sang Amati Raga sudah larut
dalam kesadaran rohani, mencapai Samadhi; puncak dari Astangga Yoga.
Pasal 59.
Pasucian
1. Sebelum diksa; setelah ‘metangi dari Amati Raga’ dilanjutkan
dengan Mesuci; dimandikan oleh orang-rang yang telah suci pula.
2. Penyucian Calon Diksa Lanang dan Istri masing-masing dipimpin oleh
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Lanang dibantu Pemangku Lanang; dan Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa Istri dibantu Pemangku Istri.
Pasal 60.
Padiksan
Selanjutnya rangkaian upacara sakral padiksan dilakukan pada dini
hari, sebagai berikut
1. Puja; Sang Calon Diksa
melakukan persembahyangan, menyampaikan puji sukur Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
dan Para Leluhur atas perlindungan beliau sehingga sukses melaksanakan Amati
Raga di pimpin oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe. Dan memohon Wara-Nugraha
untuk pelaksanaan diksa.
2. Paguruyagan; pernyataan
dan sikap (sembah) Sang Calon Diksa dengan hati tulus-iklas dan penuh
keyakinan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ida Nabe didalam menerima
Diksa dan bimbingan Kabujanggan selanjutnya
3. Bhru Madya;
ditandai dengan menyentuhkan ibu Jari Sang Ida Nabe di tengah-tengah dahi (Bhru
Madya) kedua Calon Diksa sebagai upaya membuka mata batin Sang Calon Diksa.
Saat Sang Diniksa dinyatakan lahir untuk kedua kalinya; Dwijati.[8]
4. Siwa Dwara;
upacara napak, menurunkan Ilmu Ida Nabe kepada Sang Diniksa yang dilakukan
dengan menyentuhkan “Bajra Uter” ke ubun-ubun Sang Diniksa.[9]
5. Sikka; upacara mewujudkan
prucut, gelung rambut di puncak kepala Sang Diniksa; diawali dengan pemotongan
ujung rambut sebagai simbul penyucian.
6. Amari Aran;
mengganti nama saat walaka dengan Bhiseka, nama suci panugrahan Ida Nabe. Amari
Aran adalah satu dari Catur Bandanda Dharma; empat kewajiban pokok
didalam menjalani Aguron-guron, kehidupan rohani sebagai Sisya seumur hidup.
Catur Bandana Dharma itu adalah:
a. Amari Aran; melepaskan dan mengganti nama Walaka dengan Bhiseka, nama suci panugrahan
Ida Nabe, sebagai tanda telah memasuki kehidupan Bhiksuka Asrama
b. Amari Wesa; menggantikan cara berpakaian walaka dengan berpakaian atau
berpenampilan Ida Rsi Bhujangga Waisnwa, untuk seterusnya.
c. Amari Wesaya; melepaskan sikap dan tingkah laku welaka dan memasuki kehidupan
Ida Rsi Bhujangga Waisnwa yang sarat dengan Tata-Susila
d. Angulahaken Kaguru Susrusa; melaksanakan aguron-guron dengan sepenuh hati, tertib,
menghormati dan taat kepada petunjuk Ida Nabe
7. Pasobyah
Sebagai akhir dari
rangkaian upacara Pediksan ditutup dengan acara resmi (ceremonial) yang pada
intinya sebagai perkenalan “Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Anyar” lengkap dengan
Bhiseka beliau. Hal ini ditandai dengan “pasobyah”, pengumuman oleh PHDI.
BAB. IX. .
PASCA PEDIKSAN
Pasal 61.
Tapa dan Brata
1. Setelah menerima anugrah Diksa Sang Diniksa patut melaksanakan
Tapa-Brata selama 42 hari atau abulan pitung dina di Mrajan Griya; pantang
keluar Griya
2. Dalam waktu paling lambat selama 42 hari Sang Bhujangga Anom
diharapkan sudah berhasil menemukan, memelihara dan menumbuh kembangkan apa
yang ditemukan saat dianugrahkan Diksa oleh Ida Nabe; sehingga pada diri Sang
Bhujangga Anom telah tertanam (power) kesucian yang memadai dan telah siap
serta mampu menenuaikan tugas Kepanditaan dengan sukses (Sidaningdon)
3. Ibarat seorang Anak menerima bibit bunga, dia harus menanam,
menjaga dan memelihara bibit itu dengan cermat penuh perhatian dan kesabaran
agar bibit itu tumbuh menjadi tunas muda yg dapat tumbuh-berkembang segar. Bila
tidak dipelihara dengan telaten pasti dia akan tidak tumbuh dan bahkan akan
mati; tak bermakna.
4. Saat itulah Ida Rsi Anyar patut melaksanakan tapa dengan teguh dan
tekun, ibarat Ayam mengerami telurnya yang sedang membutuh suhu yang terukur
dan berlanjut sehingga menetas dengan sempurna.
5. Tapa ini patut didukung oleh penerapan brata lanjutan yaitu Panca
Niyama Brata:
a. Akroda; Sang Bhujangga Anom
patut berlatih mengendalikan emosi sehingga tetap tenang dan tidak mudah marah,
tidak mudah terpancing emosi sehingga akhirnya terbiasa tidak marah walau
menghadapi tantangan yang berat.
b. Santosa; Sang Bhujangga Anom patut berlatih
mengendalikan ego sehingga mampu tenang walaupun menerima berbagai cemooh,
caci-maki dan fitnah atau sebaliknya bila pujian menerpa dirinya; agar hati
tetap tenang dibarengi senyum kedamaian.
c. Sauca; Sang Bhujangga Anom
selalu teguh dan tekun untuk senantiasa meningkat-kan kesucian diri lahir
maupun batin
d. Apramada; Sang Bhujangga Anom hendaknya belajar untuk
tidak ingkar akan kewajiban yang telah digariskan oleh Ida Nabe. Sikap ini
patut diawali dengan selalu yakin sepenuhnya atau tidak (angkuh) meragukan Ida
Nabe dan atau harus yakin terhadap apa yang digariskan Ida Nabe; dengan selalu
berupaya mengusir dan menyingkirkan dengan tuntas setiap muncul rasa ragu
terhadap Guru.
e. Guru Susrusa; Sang
Bhujangga Anom patut selalu serius, tulus-iklas dan tekun mengikuti seluruh
petunjuk dan apapun yang diajarkan oleh Guru.
6. Keberhasilan sesuai ayat 1 Pasal ini akan ditandai dengan anugrah
“Ngalinggihang Weda oleh Ida Nabe”
7. Keberhasilan mencapai tujuan Tapa Brata ini ibarat Ida Rsi
Bhujangga Waisnawa telah berhasil menyalakan lentera demi menerangi Griya dan sekitarnya.
8. Power penerang ini patut dipelihara dengan tekun dan berlanjut
sehingga yang awalnya hanya secercah cahaya, dari hari-kehari terus makin
terang dan makin terang sehingga mampu menerangi kehidupan masyarakat sekitar
makin lama makin luas.
Pasal 62.
Ngalinggihang Weda
1. Dengan anugrah “Ngalinggihang Weda” Sang Bhujangga Anom telah
mendapat anugrah ijin resmi untuk melanjutkan mengenal, memahami dan menguasai
Weda dengan sepenuh hati.
2. Memperdalam Weda baik unsur Tatwa; Susila dan Acara, meliputi
Upcara dan Upakara.
3. Dengan anugrah “Ngalinggihang Weda” Sang Bhujangga Anom telah
mendapat anugrah ijin resmi dari Ida Rsi Bhujangga Nabe untuk mulai melayani
masyarakat dalam melaksanakan “Yadnya Dangan”
4. Dengan Ngalinggihang Weda Sang Bhujangga Anom telah memperoleh
kesempatan untuk atau bahkan ditantang untuk dapat menumbuh-kembangkan
kesucian, sehingga Stula Sarira dan Griya Sang Diksita memancarkan vibrasi
kesucian yang makin hari makin kuat.
5. Hal ini akan sangat mungkin apabila Bhujangga Anom mampu menjadi
suri tauladan kehidupan suci minimal bagi lingkungan Griya Anyar, sehingga
terwujud kehidupan penuh etika di Griya; melalui menjalani kehidupan satya
brata atau berpola hidup yang menyatu dengan brata yang telah dijalani.
6. Kemampuan memenuhi tuntutan Catur Bandana Dharma otomatis akan
berpengaruh juga kepada penghuni Griya, berupa kesadaran untuk melakoni
kehidupan sebagai Bhujangga (penekun kerohanian) sejak awal (remaja); minimal
hidup penuh etika.
7. Akan menjadi sempurna apabila Bhujangga Anom mampu terus
menularkan kehidupan penuh etika dan berkesadaran untuk menjalani kebujanggan
itu tidak saja di lingkungan Griya, tetapi makin lama makin meluas dirasakan
oleh masyarakat sekitar Griya Atau minimal masyarakat sekitar berpandangan
makin positif sejak nyenengnya Ida Rsi Bhujangga Waisnawa.
8. Hal ini akan tumbuh terus apabila Bhujangga Anom telah memiliki
tingkat kesucian tertentu sehingga mampu menarik umat/masyarakat sekitar untuk
datang dan Bhujangga Anom sendiri berkenan membuka diri dan pintu Griya
selebar-lebarnya.
Pasal 63.
Mapulang Lingga
tan hana Wiku tan Satya Brata,
yan hana Wiku tan Satya Brata,
satsat Satriya ajrihing Yudha
(Rsi Sesana Catur Yuga)
tidak ada Orang Bijaksana yang tidak taat melaksanakan brata
bila ada Orang Bijaksana tidak taat melaksanakan brata
bagaikan seorang ksatria lari dari kancah peperangan
bila ada Orang Bijaksana tidak taat melaksanakan brata
bagaikan seorang ksatria lari dari kancah peperangan
1. Dengan
telah dianugrahkan Sang Bhujangga Anom “ngalinggihang Weda” bermakna Sang
Bhujangga Anom telah lengkap mendapat pawarah-warah mengenai brataning Sang
Wiku; yaitu Panca Yama Brata dan Panca Niyama Brata
2. Dengan
dilaluinya Pelaksanaan Diksa dan Ngalinggihang Weda bermakna Ida Rsi Bhujangga
Waisnawa Nabe telah menanamkan Pondasi yang kokoh didalam upaya Sang Bhujangga
Anom untuk terus meningkatkan Kebhujanggan.
3. Dengan
berbekal ketekunan dan ketulusan melaksanakan kedua Brata Utama Kewaisnawan ini
cepat atau lambat Sang Bhujangga Anom akan mencapai Satya Brata; pola hidup
baru yang penuh kedamaian.
4. Bila
Sang Bhujangga Anom dengan kondisi Satya Brata tetap meningkatkan Kabhujanggan;
astungkara dalam 3 tahun sang Bhujangga Anom telah mencapai tingkat tertentu
didalam Kabujanggan yang patut dianugrahi “Mapulang Lingga” oleh Ida Nabe.
5. Bhujangga
Anom mengajukan permohonan kehadapan Ida Nabe untuk memperoleh Anugrah
“Mapulang Lingga”.
6. Anugrah
Mapulang Lingga sebagai penghargaan/apresiasi atas ketekunan Sang Bhujangga
Anom dan berhak menerima Piagem BhM, seperti diatur Pasal 35 diatas.
7. Apresiasi
atau penghargaan terhadap kemajuan Kebhujanggan selanjutnya diatur secara
berjenjang dalam kurun waktu 3 tahun
BAB. X.
PENGGANTIAN PEMBINA
Pasal 64.
1. Pada dasarnya Ikatan Ida Nabe termasuk Guru
Waktra dan Guru Saksi adalah ikatan seumur hidup antara Sisya dengan Gurunya.
2. Pergantian Guru Pembina dilakukan karena alasan
Guru Pembina tidak dapat memenuhi tugasnya sebagai mana mestinya karena
berhalangan tetap, Sungkan atau lebar.
3. Atas alasan yang wajar dan bertujuan mulia, Ida
Rsi Sisya dapat mengusulkan penggantian Guru Pembina, baik Guru Waktra maupun
Guru Saksi kepada Ida Nabe.
4. Ida Rsi Sisya dapat memilih Ida Rsi anggota
Bhujangga Utama/Bhujangga Guru sebagai Guru Pembinanya untuk mendapat
persetujuan Ida Nabe Werdha (Penabean).
5. Guru Pembina, baik Guru Waktra maupun Guru Saksi
dinyatakan telah terganti; bila Ida Rsi Sisya berhasil memilih Bhujangga Guru
yang berkenan menjadi Guru Pembina dan mendapat persetujuan Ida Nabe Werdha
dalam suatu upacara.
6. Demi peningkatan hasil yang lebih baik dan
kemuliaan, Ida Nabe Werdha mempunyai hak penuh dan mutlak untuk mengganti Guru
Pembina; baik Guru Waktra dan atau Guru saksi.
BAB. XI.
PENILAIAN HASIL PEMBINAAN
Pasal 65.
1.
Secara umum kenaikan penjenjangan
Ida Rsi Sisya dilakukan 3 (tiga) tahun setelah hari Pediksan atau setelah
menerima kenaikan jenjang sebelumnya; yang ditandai dengan penganugrahan Piagem
oleh Ida Rsi Nabe/ Ida Nabe
2.
Penilaian terhadap
Bhujangga dilakukan setelah ada permohonan dari Bhujangga bersangkutan kepada
Ida Nabe Werda/Ida Nabe.
3.
Permohonan Penilaian
dapat difasilitasi oleh Guru Waktra dan atau Guru Saksi yang bersangkutan.
4.
Permohonan Penilaian
diajukan kepada Ida Rsi Nabe/Ida Nabe minimal 1 (satu) bulan sebelum
pelaksanaan Penilaian.
5.
Penilaian dilakukan oleh
Ida Nabe didampingi Kepala Bidang Tata Usaha dan Kepala Litbang; namun
keputusan ada ditangan Ida Nabe Werdha.
6.
Sebelum Penilaian
dimulai Penilai menetapkan program penilaian yang disetujui oleh Ida Nabe
Werdha.
7.
Program dimaksud paling
tidak meliputi metoda dan waktu penilaian dan minimal dihadiri/dilaksanakan
oleh 3 (tiga) Ida Rsi BW Anggota Penilai.
8.
Didalam Penilaian;
Bhujangga didampingi oleh Guru Pembina (Guru Waktra dan Guru Saksi) sebagai
Nara Sumber.
9.
Hasil Penilaian adalah
wewenang mutlak dari Ida Nabe Werdha yang tidak dapat diganggu-gugat.
10. Bagi Ida Rsi Sisya yang dianggap berhasil atau
pantas naik jenjang akan mendapat anugrah Piagem dari Penabean.
BAB. XII.
PENUTUP
Pasal 66.
Masa Berlaku
1. Cilakramaning Bhujangga ini adalah hasil atau
Keputusan dari Sabha Ageng Seluruh Ida Rsi Bhujangga Waisnwa yang dipimpin oleh
Ida Rsi Bhujangga Waisnwa Nabe/ Ida Nabe Werdha
2. Ketentuan dalam Cilakramaning Bhujangga ini
berlaku selama 5 (lima) Tahun.
3. Dalam keadaan normal Sabha Ageng untuk membahas
kembali Cilakramaning Bhujangga ini diadakan 5 (lima) Tahun setelah dinyatakan
resmi berlaku.
4. Penyimpangan terhadap “Cilakramaning Bhujangga
hasil Sabha Ageng” tidak sah dan tidak merupakan bagian dari kegiaatan
Penabeaan Bhujangga Waisnawa.
5. Dalam Keadaan Darurat dan atau dalam keadaan
tertentu yang sangat mendesak Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Nabe/Ida Nabe Werdha
dapat menyelenggarakan Sabha Ageng untuk meninjau sebagaian atau seluruh dari
Cilakramaning Bhujangga ini.
6. Sabha Ageng dianggap Korum dan dapat dilanjutkan
apa bila dihadiri oleh 75% Anggota Bhujangga Utama dan dihadiri paling tidak
oleh 50% ditambah 1 orang Anggota Bhujangga.
PUPUT
ASTANGGA YOGA
Astangga Yoga adalah
bahasa Sansekerta dan terdiri dari: Asta, Angga dan Yoga
- Asta berarti 8 (delapan)
- Angga berarti badan; tingkatan, tahapan, langkah
- Yoga adalah disiplin rohani untuk menggabungkan
diri kita dengan Yang Maha Kuasa
Jadi Astangga Yoga[10]
adalah 8 (delapan) tingkatan atau tahapan atau langkah didalam mempraktekan
disiplin rohani untuk menggabungkan diri kita dengan Yang Maha Kuasa
1.
Panca Yama Brata; sesuai
penjelasan Pasal 51
2.
Panca Niyama Brata;
sesuai penjelasan Pasal 61
3.
Asana; memilih sikap
duduk atau sikap tubuh lain yang cocok dengan kondisi tubuh agar mamapu
bertahan melaksanakan meditasi
4.
Pranayama; pengaturan
Pernafasan
5.
Pratyahara;
mengendalikan/menarik Panca Indra agar tidak terganggu oleh obyeknya
6.
Dharana; pengendalian
pikiran
7.
Dhyana; kesadaran
Material, tidak tertidur dan pkiran selalu mengalir ke Tuhan
8.
Samadhi;mencapai
kesadaran Rohani
[2] Hanya beliau sendirilah yang mampu menilai diri
beliau sendiri. Atau hanya belaiu sendiri menyadari keberadaan beliau ada
dimana.
[4] Dalam keadaan darurat persyaratan ini dapat
diabaikan; namun begitu beliau ditetapkan sebagai Ida Rsi Bhujangga Waisnawa
Nabe; serentak beliau hrs menjalani Panca Yama-Niyama Brata menuju Satya Brata
[5] Piagem BhU-2, BhU-3, BhU-4 dan seterusnya
diserahkan oleh Guru Nabe bagi mereka yg dinilai telah melaksanakan
Aguron-guron dengan baik, masing-masing selama 3 tahun.
[7] Mapejati yang telah berjalan dilanjutkan dengan
Mapejati ke Merajan Griya Delod Sema Pejaten; Griya Ida Abra Sinuhun Nabe atau
Griya Nabe dari Ida Rsi Bhujangga Sinuhun Nabe sekarang (Babut)
[8] Bhru Madya= Tengah-tengah dahi atau Ring
telenging Lalata= diantara kedua alis. Pada pediksan lain tahap ini disebut
dengan Jihwa (=lidah); yang ditandai Sang Calon Diksa menjilat Ibu-jari kaki
Nabe, bahkan dalam pelaksanaannya ada dengan cara menghisapnya.
[9] Pada upacara pediksaan lain, napak dilakukan
dengan menginjakan telapak kaki di ubun-ubun sang Diniksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar