Kamis, 23 Januari 2014

DESKRIPSI UMUM INSTITUSI DIKSA



DESKRIPSI UMUM INSTITUSI DIKSA
MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
Bagian 2

PROSES IMPLEMENTASI KEPUTUSAN AGURON GURON

1. PROSES PRA DIKSA
Sesuai dengan yang tertuang dalam keputusan aguron-guron, terutama yang termuat dalam uraian keputusan nomer 6 (enam), yang isinya bahwa sepasang calon diksa (suami-istri) diwajibkan untuk mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) sebelum secara formal memasuki penentuan hari baik (padewasan) untuk mediksa. Implementasi melalui prinsip menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensus atau kesepakatan siap dilaksanakan oleh calon diksa. Pendidikan dilaksanakan secara berkelompok dikelola oleh kemoncolan Pusat dan didukung oleh kemoncolan Kabupaten/kota, Kecamatan dan dadya. Dimulai dengan tahapan pendidikan kepemangkuan tingkat dasar, diteruskan dengan pendidikan kepemangkuan tingkat lanjutan, serta pendidikan dan latihan calon diksa, yang semuanya dilaksanakan secara berkelompok di dalam suatu rungan kelas. Proses pendidikan tersebut ditandai adanya interaksi simbolik antar unsur/sub-sistem pendukung sistem aguron-guron. Pelaksanaan pendidikan diselengarakan setiap hari Minggu, mulai jam 09.00 Wita sampai jam 15.00 Wita, masing-masing tingkatan pendidikan di sebanyak 16 kali pertemuan. Disela-sela kegiatan hari Minggu tersebut dan setelah acara pendidikan selesai, diharapkan calon diksa untuk melakukan magang sebelum secara sah melaksanakan aguron-guron. Secara terperinci, proses pra diksa dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.1. Proses Pendidikan
Proses pendidikan dan latihan (diklat) dalam rangka implementasi keputusan aguron-guron tersebut, di awali dengan pendidikan di dalam ruangan kelas dan disela-sela kegiatan tersebut calon diksa harus melaksanakan magang sebagai ajang praktik/latihan. Pendidikan tersebut dimulai dengan pendidikan kepemangkuan tingkat dasar dan kepemangkuan tingkat lanjutan, kemudian bagi calon diksa yang sudah mendapat rekomendasi dari kemoncolan diwajibkan untuk meneruskan dengan mengikuti pendidikan dan latihan calon diksa, magang dan aguron-guron sebagai pendidikan pra diksa. Keseluruhan kegiatan pendidikan tersebut dikelola oleh moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa. Setelah prosesi diksa dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan pasca diksa yaitu menuju ngelinggihang weda (142 hari setelah mediksa) dan mapulang lingga (setelah 3 tahun mediksa).
Proses Pendidikan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
a. Pendidikan Kepemangkuan Tingkat Dasar dan Lanjutan
Pendidikan kepemangkuan tingkat dasar dan kepemangkuan tingkat lanjutan merupakan langkah awal yang harus diikuti oleh calon diksa. Tujuannya adalah untuk memberikan kedalaman pengetahuan dasar, wawasan agama dan ketrampilan teknis kepemangkuan dalam rangka pelayanan kepada umat. Menurut Moncol Pusat MWBW yang membidangi pendidikan, menyatakan bahwa pendidikan kepemangkuan dasar dan lanjutan telah dilaksanakan dalam dua periode. Waktu pelaksanaan pendidikan tingkat dasar dilaksanakan selama 16 kali pertemuan, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan tingkat lanjutan. Hal ini sejalan dengan pendapat Suhardana (2008: 73) bahwa persiapan akan menjadi lebih mudah manakala calon diksa adalah seorang pinandita (pemangku) yakni orang yang telah disucikan oleh seorang pendeta (sulinggih) dalam tingkatan ekajati.
Peserta pendidikan kepemangkuan adalah warga Bhujangga Waisnawa yang telah bertugas sebagai pemangku merajan dadya, merajan grya, kahyangan desa/jagat atau yang sudah disiapkan untuk tugas tersebut, didaftarkan melalui kemoncolan Kecamatan. Sebagai tutor adalah beberapa Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang telah mendapat panugrahan dari Ida Rsi Nabe serta tambahan narasumber dari PHDI dan Pengelingsir Moncol Pusat MWBW. Pola pendidikan lebih mengutamakan pembahasan praktik yaitu sekitar 70%, sedangkan teori hanya 30%, dengan materi utama yang diajarkan meliputi praktik Panca Yadnya, Paneleban Sastra Bali lan Ngerajah serta DangGuru Acarya lan Prewertaka Yadnya. Praktik yang lebih banyak mengarahkan pemangku untuk memiliki keterampilan teknis sehingga lebih memudahkan dalam pelaksanaan suatu yadnya. Pendidikan kepemangkuan ini dapat dipahami sebagai dasar untuk memperlancar pendalaman lebih lanjut dalam diklat calon diksa. Sebagai calon diksa sudah sepatutnya memahami cara kerja pemangku sehingga setelah nantinya menjadi sulinggih akan memperlancar kerjasama saat muput yadnya. Demikian juga pengetahuan dalam hal teknis pembuatan upakara (banten) dapat diperdalam dan dipraktikkan saat menjadi pemangku.
b. Pendidikan dan Latihan Calon Diksa
Pendidikan dan Latihan (diklat) calon diksa diberikan bagi peserta yang mendapat rekomendasi dari kemoncolan Kabupaten, setelah peserta mengikuti pendidikan kepemangkuan dasar dan lanjutan sehingga dianggap telah memiliki kompetensi awal. Pola pendidikan dibuat secara intensif dengan materi teori dasar dan praktik di dalam ruangan kelas. Proses perubahan sikap diharapkan terjadi dari perilaku calon diksa dalam usaha mendewasakan dirinya melalui upaya pengajaran dan pelatihan untuk mempersiapkan diri, dari tidak mampu menjadi mampu melaksanakan sesuatu dalam hal kasulinggihan. Pola pendidikan tersebut telah menggunakan metode pengajaran yang sistematis dan modern, memakai alat bantu komputer, bahan atau materi ajar secara tertulis diberikan oleh nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan seperti sulinggih, dosen di bidang agama, pengurus lembaga umat atau institusi keagamaan, pengurus moncol MWBW dan praktisi agama (Moncol MWBW, 2010a: 27-28).
Memberikan tugas kepada calon diksa berupa “pekerjaan rumah”, baik secara sendiri maupun tugas yang dibuat berkelompok. Peserta diklat calon diksa merasa lengkap pembelajarannya dengan menggarap tugas diklat di rumah masing-masing, sehingga peserta menjadi lebih aktif dalam mengikuti diklat tersebut. Proses pendidikan dan latihan (diklat) calon diksa merupakan bagian dari sistem yang lebih besar yaitu sistem kasulinggihan. Melalui proses pendidikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yang terlibat untuk membentuk sistem tersebut, seperti : sulinggih sebagai nara sumber, Lembaga Umat (Instansi Kantor Kementerian Agama, PHDI), pengurus moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa sebagai organisasi paiketan pasemetonan, berbagai kalangan sebagai instruktur/tutor atau pengajar, keluarga calon diksa (keluarga kecil dan dadya), umat Hindu (lingkungan dekat dan jauh), materi (kurikulum, silabus), bahan dan sarana belajar-mengajar, tempat belajar-mengajar, waktu belajar mengajar, tugas-tugas yang diberikan, dan sub-sistem yang lainnya sebagai pembentuk keseluruhan sistem pendidikan kasulinggihan.
Proses pendidikan bagi calon diksa merupakan bagian dari program pendidikan agama Hindu di luar sekolah. Menurut buku “Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-IV” (2007: 18-19), bahwa pendidikan agama Hindu di luar sekolah merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa masyarakat, dengan ajaran agama Hindu itu sendiri sebagai pokok materi. Guna dan tujuan pendidikan agama Hindu di luar sekolah, ditegaskan meliputi: (1) menanamkan ajaran agama Hindu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan umat Hindu dalam semua prikemanusiaannya; (2) ajaran agama Hindu mengarahkan pertumbuhan kemasyarakatan umat Hindu, sehingga serasi dengan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia; (3) menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran agama Hindu dalam masyarakat antara Tattwa, Susila dan Yadnya; dan (4) untuk mengembangkan hidup rukun antara umat berbagai agama. Sedangkan materi bersumber pada Veda Smrti dan Itihasa, tentang sarana berupa penyuluhan, perpustakaan, penerbitan dan mass media. Pelaksanaannya ditangani oleh PHDI, Departemen Kementerian Agama, organisasi paiketan pasemetonan asal calon diksa, dan eksponen agama Hindu dalam masyarakat. Dari keempat guna dan tujuan tersebut di atas, arah pengajarannya lebih ditekankan ke sistem kasulinggihan, jadwal dan durasi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan.
Buku “Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-IV” (2007: 89-91), lebih lanjut mengatur tentang sistem dan materi pendidikan calon diksa, berisi latar belakang permasalahan, tujuan, sistem pendidikan, materi pendidikan dan metode pendidikan. Tujuannya adalah untuk dapat menghasilkan calon sulinggih yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar kasulinggihan, yang berwawasan luas serta berorientasi ke masa depan. Sebagai kelanjutan pendidikan ini sampai dapat melaksanakan pediksaan sebagai seorang sulinggih, maka yang bersangkutan wajib mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku. Sistem pendidikan yang dapat dikembangkan adalah beorientasi pada keterpaduan pola tradisional dengan pola pendidikan modern yang berlaku dewasa ini. Sedangkan materi pendidikan meliputi kelompok dasar, kelompok inti dan kelompok penunjang, dengan metode pendidikan dilakukan dengan ceramah, diskusi, praktik, pemberian tugas dan evaluasi bagi peserta pendidikan calon diksa.
Pendidikan ilmu agama, terutama yang terkait dengan bidang kasulinggihan menjadi materi utama dalam pendidikan dan latihan calon diksa tersebut. Berdasarkan materi yang diberikan oleh tim tutor dalam pendidikan adalah pembahasan tentang Weda, Upanisad, Dharsana, Itihasa, Bhagawadgita, Purana, Tantrayana, Pujastuti, Tattwa, Etika/Sasana dan Acara. Pemahaman tentang pelaksanaan suatu upacara (eed karya) dengan upakara yang diperlukan, serta keharusan jenis banten yang ada jika seorang sulinggih berlaku sebagai pemuput yadnya. Pendidikan calon diksa dilaksanakan 6 (enam) jam setiap hari minggu di aula kantor Kementerian Agama Provinsi Bali, selama 16 kali pertemuan atau 4 (empat) bulan. Materi teori tersebut sekaligus ditambah dengan praktik Nyurya Sewana, Nibakang Padewasaan/Wariga, Mekarya Kajang dan pemahaman tentang berbagai upakara yang harus dibuat di grya, serta teknik Dharma Wacana/Dharma Tula. Materi utama dalam pelajaran Etika/Sasana yang dibahas adalah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam beberapa naskah atau teks sasana sulinggih seperti yang tertuang dalam Siwa Sasana, Wrati Sasana, Silakramaning Aguron-guron dan teks sasana yang lainnya.
Teks sasana tersebut secara mendalam dijadikan materi ajar serta dibahas dan didiskusikan di dalam kelas dengan pengarahan dari tutor. Materi tatakrama belajar kasulinggihan tersebut menjadi bahan diskusi antar peserta, seperti bagaimana menerapkan sasana berguru atau etika menjadi calon diksa yang disiplin dan kegiatan harian seorang sulinggih. Mencocokan bunyi teks dengan kenyataan yang ada di lapangan sehingga diperoleh pengalaman berharga dalam meningkatkan wawasan kasulinggihan mengenai sesuatu hal atau aktivitas yang wajib dilaksanakan, atau yang boleh dan yang dilarang untuk dilakukan.
Pelajaran yang lebih spesifik diberikan meliputi pengenalan alat-alat siwaupakarana, bhusana dan perlengkapan lainnya yang khas Rsi Bhujangga, terkait aspek tattwa yang mendasari fungsi serta cara penggunaanya. Siwaupakarana yang dimaksud adalah panca genta atau panca sanjata, terdiri dari "Genta Padma", "Genta Uter", "Genta Orag", "Ketipluk" atau "Damaru" dan "Sungu" atau "Sangka". Materi tersebut diambil dengan membahas beberapa lontar antara lain purwa bhumi kamulan, purwa bhuwi tuwa, kerta bhujangga, rsi wesnawa, tutur aji jong biru, bhuwana tatwa, pabancangah maospahit, eka gama, dan beberapa lagi yang secara khusus membahas tentang keberadaan Bhujangga Waisnawa.
Pendidikan dan pelatihan calon diksa dengan tugas-tugas yang diberikan, baik tugas yang bersifat mandiri maupun kelompok yang dibuat dalam bentuk kertas kerja/paper, mengarahkan calon diksa untuk mampu menulis suatu laporan tentang suatu yadnya dengan cermat dan sistematis. Pola pelatihan tersebut mendorong kemampuan calon diksa tersebut untuk menjadi penulis atau pengarang dalam hal keagamaan. Hal tersebut sejalan dengan penegasan dalam Lontar Aji Purwa Bhasita Krama sebagai berikut:
Lontar Aji Purwa Bhasita Krama 5a:
“yapwan pascat denta angrasanana ika kabeh, kita yogya pinaka kawining kawi raja, purwaning catur wikrama, ikang dharma, guna, karma, karta kabeh, dadi pinaka sarajaning dharmanpandita.
Terjemahannya:
Jika anda mahir dalam memahami secara keseluruhan, maka anda akan mampu menjadi pengarang dalam jajaran pujangga kerajaan, sedangkan berkat pengamalan catur wikrama, yang terdiri dari: dharma, guna, karma dan karta secara menyeluruh akan menjadikan anda berhasil dalam melaksanakan dharma pandita (Suata, 2001: 30).
Pada akhir acara pendidikan dan latihan (diklat), bagi peserta yang memenuhi kriteria persyaratan yang telah ditentukan oleh panitia, maka diberikan sertifikat tanda bukti telah mengikuti pendidikan tersebut. Kriteria kelulusan bagi peserta terutama tingkat kehadiran mengikuti pendidikan, pengumpulan tugas dan hasil evaluasi akhir. Sertifikat tersebut diperlukan untuk melengkapi syarat administrasi saat mengajukan surat permohonan rekomendasi kepada Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa dan permohonan pelaksanaan diksa pariksa dari PHDI.
1.2. Proses Magang
Pendidikan dan latihan (diklat) dilakukan dengan memberikan pendidikan di dalam ruangan kelas dan dilanjutkan dengan latihan dan praktik di luar ruangan berupa kegiatan magang. Proses magang dianjurkan diikuti disela-sela pendidikan di kelas dan wajib terus dilaksanakan setelah selesai pendidikan dengan waktu yang diatur tersendiri. Setelah proses pendidikan dan latihan di dalam kelas berakhir, kemudian diwajibkan bagi peserta pendidikan calon diksa untuk mengikuti latihan/praktik di lapangan dengan melakukan magang pada Rsi Bhujangga yang menjadi tutor atau Rsi Bhujangga yang diharapkan akan berkenan menjadi guru waktra atau guru saksi. Proses pemagangan (internaship) secara berkelompok pada sulinggih sepenuhnya tergantung pada potensi calon diksa, karena sulinggih lebih berperan sebagai fasilitator. Diharapkan dengan pengenalan pendekatan magang lebih memungkinkan calon diksa secara terarah memasuki tahapan diksa pariksa dan padiksaan (Suhandana, 2007: 10-11).
Proses magang yang dimaksud adalah secara aktif mengikuti dan membantu kegiatan sulinggih saat memberikan dharma wacana, dan ikut ngayah dalam rangka menyiapkan upakara maupun saat sang sulinggih muput suatu yadnya. Magang tersebut sangat efektif untuk mencocokan pelajaran yang diberikan di kelas dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Dengan makin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan umat Hindu dalam melaksanakan yadnya, maka praktik lapangan berupa magang bagi calon diksa merupakan proses penting yang harus dilalui. Proses magang bermanfaat untuk mempercepat meningkatkan wawasan pemahaman, pengetahuan dan kemampuan teknis dalam hal ilmu kasulinggihan, termasuk di bidang pelaksanaan panca yadnya dalam kerangka tattwa-susila-acara.
Melalui proses magang maka calon diksa dapat lebih intensif terjun ke masyarakat. Di lapangan dapat ditemukan bagaimana keinginan dan berbagai respon umat dalam menyikapi yadnya yang digelar, besarnya biaya yang dikeluarkan, banyaknya tenaga dan waktu untuk persiapan sampai pelaksanaan, termasuk penilaian masyarakat terhadap sulinggih yang muput. Setiap perbedaan tempat/daerah memiliki kekhasan tersendiri, baik tentang eed/dudonan karya maupun nama/sebutan atau wujud upakara yang dipersembahkan (desa mawacara). Keinginan dan respon umat serta perbedaan tersebut dapat dijadikan bahan pelajaran berharga dalam meningkatkan wawasan dan pengetahuan calon diksa. Kenyataan yang ada di masyarakat tersebut menjadi catatan penting yang harus diingat dan menjadi perhatian agar di masa datang dapat memberikan pelayanan terbaik sesuai sastra agama yang benar.
Kegiatan calon diksa dalam proses magang tersebut perlu dilaporkan kepada panitia pendidikan atau ke pengurus kemoncolan agar dapat dipantau perkembangannya. Data kegiatan dan laporan lapangan calon diksa tersebut dapat dijadikan bahan penilaian saat nanti memohon surat persetujuan dan rekomendasi untuk kelengkapan administrasi pediksaan. Moncol Maha Warga Bhujangga Waisnawa berhak menolak memberikan persetujuan dan rekomendasi pediksaan jika calon diksa tersebut tidak aktif belajar atau tidak melakukan magang.
1.3. Proses Aguron-guron
Pengalaman belajar di kelas dan praktik lapangan melalui proses magang, maka dapat melihat, mendengar dan belajar dalam heterogenitas di masyarakat. Bagi calon diksa, sejak awal dapat memahami dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran agama Hindu yang diyakini oleh umat. Membandingkan pola religiusitas masyarakat dan berusaha menyerasikan dengan tattwa, susila dan acara yang termuat dalam susastra Hindu. Pengalaman tersebut sangat mendukung untuk masuk ke tahap aguron-guron sebagai jenjang terdekat menuju pediksaan. Setelah calon diksa melaksanakan proses magang dan dianggap sudah mampu masuk ke jenjang berikutnya, maka dilanjutkan dengan ikatan formal tradisional yang sudah biasa dilakukan yaitu proses aguron-guron. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhandana (2007: 9) bahwa pendidikan melalui jalur tradisional dengan sistem aguron-guron menitik beratkan pada interrelasi antara pribadi guru nabe, guru waktra, guru saksi dengan calon diksa. Selama berabad-abad tradisi ini berlangsung yang didukung oleh masyarakat Hindu di Bali yang berlatar budaya agraris (peasant’s cultur).
Tradisi aguron-guron dapat dinilai saat seorang calon diksa sudah siap menyerahkan dirinya ditandai dengan permohonan padewasaan (hari baik) untuk pediksaan sebagai calon diksa dari sulinggih nabe, sehingga terbentuklah format hubungan nanak-nabe secara sah. Calon diksa tangkil ke grya nabe mengutarakan keinginannya dengan diantar oleh pengurus kemoncolan Kabupaten, Kecamatan, Dadya dan keluarga dekatnya sebagai saksi. Jika seseorang sudah melakukan upacara “Ngaku Agem” di Merajan Grya maka dinyatakan resmi menjadi sisya diksita. Prosesi tersebut sekaligus dengan menunjukkan bukti bahwa sudah mendapatkan rekomendasi tertulis dari Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa, dilanjutkan dengan nunas padewasaan mediksa (hari baik pelaksanaan upacara pediksaan).
Guru nabe, guru waktra dan guru saksi adalah orang-orang yang patut dihormati secara penuh oleh sisya diksita, apapun perintahnya harus selalu diikuti. Hal tersebut mencerminkan kepatuhan calon diksa sebagai sisya diksita yang disiplin. Guru waktra bertugas sebagai pengajar dalam beberapa bidang pelajaran dan guru saksi sebagai pengawas dan penilai peningkatan kemampuan sisya diksita, yang semuanya dikoordinasikan dengan guru nabe. Hubungan guru dengan sisya diksita dapat dipahami sebagai kepemimpinan moral dan intelektual, yang dapat dijelaskan dengan teori Hegemoni (Storey, 2003: 12, dan Sugiono, 1999: 33).
Kepatuhan calon diksa sebagai sisya diksita dalam tatakrama berguru seperti termuat dalam teks Silakramaning Aguron-guron, sebagai berikut:
Teks Silakramaning Aguron-guron 5: 3.b.:
…tan urung sida mukseng sarirania juga, utama dahat ika apan sang sewaka dharma, tan panikelaken tuduh sang guru yadiapi sang sewaka dharma kinon de sang guru, lumabuhing bahni juaala muang ring jroning samudra, muwang durganing aparang aparung. Yadian manjinga ring wiwaraning mong, laklakaning naga ndatan jerih sang sewaka dharma, tekap aperempuha ring kana; yan pangutus sang guru wenang lakonanan yan mangkana, yadian gawenia abang abiru, tan merasa sang sewaka dharma, mangkana kramania; tan urung yan dunga ring anuprama, yadian tan wruha rahasia warah prasida lepas, sarira sang sewaka dharma yan mangkana.
Terjemahan:
…(jika demikian) pasti akan dapat menghilangkan papa dirinya. Hal ini sangat mulia, karena pengabdi dharma tidak pernah menolak perintah guru, meskipun disuruh masuk oleh guru ke dalam kobaran api, ke dalam samudra atau jurang yang sangat berbahaya. Meskipun juga disuruh masuk ke dalam sarang harimau atau ke mulut naga tidak takutlah sang pengabdi dharma. Bila sudah perintah guru patut dilaksanakan, meskipun tugas itu cukup berbahaya. Sepatutnya itu tidak dipikirkan oleh si penuntut ilmu (pengabdi dharma). Memang demikianlah sepatutnya. Bila demikian, badan si penuntut ilmu itu akan mencapai moksa meskipun ia tidak mengetahui hakikat ajaran itu. (Tim Penterjemah, 1996: 9)
Kepercayaan dan taat perintah guru merupakan syarat mutlak bagi sisya dalam menimba ilmu, sehingga pelajaran yang diterima lebih mudah dicerna, rasa hormat mencerminkan kepercayaan, kesetiaan dalam berguru. Bunyi teks 5: 3.b mengharuskan sisya untuk setia dan patuh terhadap guru karena dengan kesetiaan maka tercermin rasa hormat dan percaya terhadap kebenaran ajaran dari guru.
Hal tersebut juga dimuat dalam Manawa Dharmasastra, sebagai berikut:
Manawa Dharmasastra II. 117:
Laukikam vaidikam vapi
Tathadhyatmikan eva ca,
Adadita yato jnanam
Tam purvam abhivadayet
Terjemahan:
Seorang siswa, pertama harus memberi hormat dengan sujud kepada guru dari mana dia menerima pengetahuan yang menyangkut soal keduniawian, tentang Veda atau tentang Brahma (Pudja dan Sudharta, 2001: 59).
Kesediaan bertindak sebagai guru (nabe, waktra dan saksi) diperlukan persetujuan dan komitmen berupa surat pernyataan tertulis dan ditanda tangani oleh yang bersangkutan, sehingga ikatannya menjadi sah secara niskala dan sekala. Surat kesediaan tersebut menjadi bagian lampiran yang penting saat mengajukan surat permohonan pelaksanaan diksa pariksa kepada PHDI Kabupaten/kota. Klimaksnya adalah prosesi pediksaan yang sudah ditunggu oleh umat, terutama oleh semeton yang tinggal di sekitar grya yang bersangkutan.

2. PROSES DIKSA
Diksa merupakan proses membangun pengetahuan rohaninya, dan menghancurkan semua reaksi yang disebabkan oleh kegiatan yang berdosa, melalui prosesi inisiasi penyucian oleh nabe sebagai guru kerohanian. Prosesi pediksaan juga menunjukkan terjalinnya hubungan yang mendalam dan bersifat pribadi antara guru nabe dengan sisya, dalam rangka melembagakan nilai- nilai ketuhanan pada diri sang sisya (calon diksa). Ketekunan pada tahap aguron-guron yang telah dilakukan oleh calon diksa akan membantu kelancaran proses permohonan pediksaan dan ketersediaan waktu untuk hari baik (pedewasaan) pediksaan serta dudonan karya rsi yadnya.
Proses diksa diawali dengan kegiatan bersifat administratif yang diurus oleh angga grya dan dibantu oleh panitia sementara atau pengurus kemoncolan Kabupaten/Kota. Dokumen yang disiapkan tersebut adalah membuat surat permohonan rekomendasi pediksaan kepada Moncol MWBW Pusat, dilampiri dengan fotokopi dokumen yang telah ditentukan. Atas dasar surat permohonan rekomendasi tersebut, maka pengurus kemoncolan membentuk “Tim Pariksa” yang ketuai oleh seorang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa dan 4 (empat) orang anggota dari pengurus kemoncolan. Tim pariksa bertugas untuk terjun ke lapangan mendatangi calon diksa di grya tersebut dan melakukan verifikasi dan evaluasi terhadap surat permohonan yang telah diajukan. Tim pariksa melaksanakan tugas verifikasi (pariksa) di grya tersebut. Dikatakan bahwa tujuan tim pariksa adalah untuk mengecek kesiapan serta melihat dan bertemu secara langsung dengan calon diksa (lanang-istri), angga grya dan lingkungannya, serta kesiapan sarana pendukung seperti siwaupakarana, kelengkapan merajan grya dan lainnya. Sasaran akhirnya adalah untuk memperlancar pelaksanaan diksa pariksa maupun pediksaan. Hasil kerja tim pariksa kemoncolan berupa Surat Keputusan (SK) Rekomendasi dan Persetujuan Susunan Kepanitiaan yang digunakan sebagai lampiran dalam Surat Permohonan Diksa Pariksa yang dikirim ke PHDI Kabupaten/Kota dan ditembuskan kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota di wilayah tempat tinggal calon diksa yang bersangkutan.
2.1. Proses Diksa Pariksa
Ketentuan tentang wewenang PHDI dalam diksa pariksa tertuang dalam Ketetapan Maha Sabha PHDI II No. V/KRP/PHDI/68 tentang Tata Keagamaan (Kasulinggihan, Upacara dan Tempat Suci), dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke 14 Tahun 1986-1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa (Suhardana, 2008: 188). Diksa pariksa dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan calon diksa dan pemenuhan terhadap persyaratan untuk menjadi sulinggih. Kewenangan administrasi pediksaan ada di lembaga PHDI Kabupaten/Kota sebagai lembaga umat, sedangkan kewenangan pediksaan adalah hak guru nabe. Ketentuan tentang bantuan dan dukungan kesiapan calon diksa untuk melaksanakan diksa pariksa dan hal lainnya dalam rangka pediksaan, dalam keputusan aguron-guron diserahkan kepada kemoncolan MWBW. Hal tersebut sesuai bunyi keputusan aguron-guron nomor 9 (sembilan), point “a” yang bertuliskan sebagai berikut: “Mempersiapkan administrasi dan koordinasi diksa pariksa hingga pediksaan”.
PHDI Kabupaten/Kota untuk melaksanakan diksa pariksa kepada calon diksa (lanang-istri) berdasarkan surat permohonan yang diajukan oleh calon diksa selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum hari pediksaan. Diksa pariksa perlu dilakukan agar umat mempunyai sulinggih yang benar-benar berkualitas dan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Proses diksa pariksa ditandai dengan kedatangan tim PHDI ke grya calon diksa pada hari yang telah ditentukan. Tugas tim PHDI tersebut adalah 1) mengecek dan melakukan verifikasi kelengkapan atas dokumen dan administrasi pediksaan tersebut; dan 2) melakukan wawancara dalam rangka mengevaluasi wawasan pengetahuan, kesiapan dan kemampuan calon diksa tentang pengetahuan agama dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kasulinggihan.
Dokumen yang dilampirkan dan diverifikasi pada saat diksa pariksa adalah:
a. Data Riwayat Hidup Calon Diksa, yang berisi tentang nama, alamat, status perkawinan, riwayat pekerjaan, nama anak-anak, nama dan alamat orang tua/mertua serta ipar.
b. Data Pendidikan Umum dan Keagamaan, yang berisi tentang tahun dan jenis pendidikan umum dan ijasah yang dimiliki, keikut sertaan dalam pendidikan keagamaan, seperti kepemangkuan dan pendidikan latihan calon diksa dengan sertifikat/bukti pendukung.
c. Pewintenan yang sudah dilaksanakan.
d. Surat Pernyataan Kesediaan dari Guru Nabe, Waktra dan Saksi.
e. Surat Rekomendasi dari organisasi paiketan semeton (kemoncolan MWBW).
f. Surat Kelakuan Baik dari Kepolisian.
g. Surat Kesehatan dari Dokter/Rumah Sakit.
h. Tembusan surat permakluman yang dikirim kepada Desa Pakraman.
i. Dokumen pendukung lainnya.
Proses wawancara dilakukan dengan metode tanya jawab antara tim diksa pariksa dengan calon diksa sebagai evaluasi kemampuan sepasang calon diksa (lanang-istri). Pertanyaan dimulai seputar motivasi mediksa dan kesiapan mental dan diri untuk memasuki gerbang bhiksuka serta adanya dukungan kesiapan keluarga. Pertanyaan selanjutnya tentang dasar-dasar ilmu agama, kemampuan bahasa dan sastra Bali dalam membaca dan menulis, dilanjutkan dengan pertanyaan yang berkaitan aspek kasulinggihan. Keseluruhan pertanyaan tersebut diberikan nilai angka oleh tim diksa pariksa. Pada akhir acara tersebut maka diumumkan hasilnya oleh ketua tim PHDI yang melaksanakan diksa pariksa. Jika calon diksa telah dinyatakan lulus diksa pariksa, maka PHDI mengeluarkan “Surat Keputusan Ijin Mediksa”. Kemudian nantinya setelah prosesi pediksaan berjalan dengan baik dan yang bersangkutan sudah sah menjadi sulinggih, maka PHDI berkewajiban membina dan menyertakan sulinggih tersebut dalam membahas masalah keagamaan dan memberi peran dalam muput yadnya.
Proses diksa pariksa menjadi penting dilaksanakan untuk menekankan akan perlunya persiapan bagi calon diksa dalam menimba ilmu agama dan segala hal yang terkait dengan kasulinggihan. Pemilikan dokumen pendukung, walau bersifat administratif, menggambarkan latar belakang kompetensi calon diksa, tentang ilmu atau pendidikan yang pernah didalami secara formal dan kegiatan lain yang menunjang saat menjadi sulinggih. Pendidikan formal yang relatif tinggi akan memudahkan kecepatan dalam menambah wawasan kasulinggihan. Sebaliknya jika pendidikan formal yang rendah akan memperlambat daya respon ketika berinteraksi dengan perkembangan umat. Dokumen pendukung lainnya seperti “Surat Keterangan Kelakuan Baik” menggambarkan akan prestasi dan eksistensi calon diksa dalam interaksi sosialnya. “Surat Keterangan Kesehatan” menggambarkan akan kemampuan calon diksa untuk siap secara fisik dan psikis dalam pelaksanaan swadharma kasulinggihannya. Secara keseluruhan dokumen tersebut diperiksa keabsahannya oleh PHDI Kabupaten/Kota, ditambah dengan mengevaluasi untuk mengetahui kemampuan calon diksa akan ilmu agama dan pengetahuan teknis kasulinggihan, memberi implikasi bagi kalangan calon diksa untuk mempersiapan diri sejak dini.
2.2. Proses Pediksaan
Proses pediksaan merupakan klimaks dari proses panjang sebelumnya yang diikuti oleh calon diksa, yaitu pendidikan kepemangkuan (dasar dan lanjutan), pendidikan dan latihan calon diksa, magang dan aguron-guron, serta proses diksa pariksa yang telah dilakukan oleh PHDI. Proses panjang tersebut merupakan kewajiban yang harus dilalui dan diikuti oleh calon diksa sesuai ketentuan dalam keputusan aguron-guron. Perubahan sikap mental, perilaku dan kemampuan calon diksa dari sebelum ikut dalam proses panjang tersebut sampai menjelang pediksaan sudah semestinya berubah ke arah perkembangan yang lebih baik. Dengan demikian pelaksanaan diksa merupakan transisi dari gelap ke terang, dari kemanusiaan menuju ketuhanan, sehingga terkesan rahasia dan kental dengan nuansa magis dan mistis. Hakekat diksa juga berarti menerima pengetahuan spiritual murni melalui upacara yang akan digelar. Upacara yang dimaksud untuk mendekatkan calon diksa sebagai murid/sisya kepada guru kerohanian atau mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan upacara pediksaannya disebut Upaniti. Di Bali istilah diksa disepadankan dengan mapodgala, masuci, mabersih, madwijati, malinggih atau lahir yang kedua kalinya, yang mengandung pengertian sama dengan samskara/askara.
Di dalam Dharma Sastra (Gelsana, 2006: 37), ditulis tentang kelahiran kedua kali (dwijati) sebagai berikut:
Dharma Sastra 87:
Kamanmata pita caiman,
yadutpadayato mithah,s
ambhutim tasya tam,
vidyadyonavabhijayate.
Terjemahannya:
Ibu dan bapak melahirkan seseorang bersama karena nafsu, maka ia lahir dari rahim. Ketahuilah (kelahiran) ini, adalah kelahiran jasmani.
Dharma Sastra 88:
Acaryastvasya yam jatim wadhivad vedaparagah,
utpadayati savatrya sa satya sa’jaramara.
Terjemahannya:
Namun kelahiran yang berdasarkan pentasbihan (dwijati) dengan (mantra) Sawitri dari guru suci yang di dalam Weda, itulah kelahiran yang sejati, yang utuh dan abadi (ajaramara).
Proses pediksaan dirancang secara cermat dengan penentuan hari pediksaan dan susunan acara (dudonan karya) yang memuat urutan acara secara lengkap, termasuk berbagai jenis upakara yang dibutuhkan. Keterlibatan semeton dengan koordinasi panitia, diharapkan sejak awal mulai dari persiapan sampai pelaksanaan karya tersebut. Keterlibatan tersebut sejak acara maturpiuning ring kahyangan, mapamit atau dharma suwaka, asucilaksana ring tukad suranadi sampai prosesi formal administratif diksa pariksa, dan puncak acara pediksaan. Dilanjutkan dengan pelaksanaan matiraga sebagai pembuka dalam upacara pediksaan yang bermakna simbolisasi bahwa sang diksita tidak lagi pamrih dan terikat pada kehidupan dunia. Seorang diksita adalah pertapa yang senantiasa mengendalikan semua hawa nafsunya, umatendrya tan wineh ring wisayanya (mengendalikan segala nafsunya serta tidak melampiaskan pada objek kenikmatan), tan agirang yang hana wwang ingalem tan alara yang hana wwang aninda (tidak senang jika ada yang memuji dan tidak berduka jika ada merendahkan). Semua dedikasi dipersembahkan untuk Tuhan, kerja yang dilakukan semata-mata atas dasar nishkamakarma bukan wisayakarma.
Prosesi pediksaan dilaksanakan menjelang dini hari oleh Ida Rsi Nabe dan disaksikan oleh Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang lain, terutama yang bertindak sebagai guru waktra dan guru saksi. Puncak acara ditandai pediksaan dengan pelaksanakan napak oleh Ida Rsi Nabe dengan ibu jari tangan kanan dan menggunakan tirtha kepada sang diksita. Prosesinya dilakukan oleh Ida Rsi Nabe dengan memasukkan Sang Hyang Siwa Tiga kedalam diri beliau, kemudian dengan kekuatan Sang Hyang Siwa Tiga masuk kedalam sang diksita pada saat ditapak, melalui ubun-ubun sang diksita. Dengan diksa secara formal manusia telah memulai kehidupan sebagai orang suci dan menjadikan tubuhnya sebagai persembahan untuk menstanakan Tuhan/Siva dan melepaskan ikatan atma untuk menjadi Siva, seperti pernyataan Maitreyi Upanisad yang berbunyi:
Maitreyi Upanisad 2.1:
“Dehi devalayah proktah, sajiva kevalah sivah”
Terjemahannya:
“badan jasmani adalah tempat suci, jiwa adalah Siva itu sendiri”.
Melalui prosesi pediksaan (dwijati) maka lahirlah sosok sepasang Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang baru dengan segala konsekwensi yang melekat padanya, yang membedakannya dibanding saat ekajati. Besok paginya saat acara seremonial, maka dibacakan surat keputusan dari PHDI tentang abhiseka dari Ida Rsi Bhujangga Waisnawa tersebut agar diketahui dan dimaklumi oleh undangan dan masyarakat.
Keseluruan proses pediksaan tersebut merupakan implementasi dari keputusan aguron-guron yang telah dipersiapkan dalam suatu rangkaian proses, dan kemudian merubah seseorang dari status walaka menjadi sulinggih, dari ekajati menjadi dwijati. Melalui perubahan status baru yaitu sebagai sulinggih, maka harus dapat menjalankan segala tugas dan kewajibannya kepada Tuhan, kepada umat dan kepada lingkungannya dengan sasana yang mengaturnya. Sebagai sandaran dan tempat berlindungnya masyarakat (ngalokapalasraya), yang mencakup kegiatan dan tugas melayani umat sebagai tempat bertanya, mampu memberikan tuntunan rohani, memberikan petunjuk dan tuntunan agama (sang guru adi loka) dan muput pancayadnya.
Kekhususan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa adalah penggunaan panca genta atau panca sanjata yang terdiri dari:
1. Genta Padma, adalah alat utama seorang Sulinggih yang dibunyikan dengan cara digoyang saat melaksanakan Loka Pala Sraya.
2. Genta Uter, yang dibunyikan bukan dengan cara digoyang, namun dibunyikan dengan cara memutar kayu dengan menyentuh pinggir genta. Genta Uter ini berfungsi "Nuhur" atau menurunkan Para Dewata Nawa Sanga, untuk menyaksikan para Bhuta-Bhuti menerima "lelaban".
3. Genta Orag, yaitu genta yang kecil-kecil dalam satu tempat, sehingga bila dibunyikan maka suaranya akan kedengaran gemerincing bersama-sama, ini berfungsi untuk mengundang para Bhuta-bhuti yang menyebarkan bisa, penyebab sakit gatal.
4. Ketipluk atau Damaru yaitu sebuah gendang kecil yang ditengah-tengahnya terdapat pegangan dari kayu dilengkapi sebuah alat yang digantung, apabila gendang tersebut diputar maka alat yang tergantung tersebut akan membunyikan gendang tersebut. Di India Ketipluk juga disebut dengan nama Damaru, ia berfungsi untuk mengundang para "Preta " atau atma kesasar, roh-roh binatang yang selalu mengganggu kehidupan manusia.
5. Sungu atau Sangka yaitu trompet yang terbuat dari kerang besar, ia berfungsi sebagai pengundang "bhuta-bhuti, kala dengen, tonyan alas, tonyan jurang, bhuta-bhuti (Sastra, 2008: 184-185).

3. PROSES PASCA DIKSA
Proses pendidikan terus berlanjut bagi Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang baru didiksa yaitu pendidikan dalam rangka ngalinggihang weda dan mapulang lingga, dengan pengajarnya adalah guru nabe penapak, guru waktra dan guru saksi yang bersangkutan. Tujuan pendidikan pasca diksa tersebut adalah memantau perkembangan dan kemampuan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa yang baru melinggih tersebut agar dapat melaksanakan puja weda matra dengan lancar, memahami upacara-upakara yang diperlukan, melaksanakan sasana dan lainnya, sehingga mampu melayani umat (muput) dalam melaksanakan panca yadnya (ngelokapalasraya).
3.1. Proses Ngalinggihang Weda
Setelah prosesi inisiasi pediksaan, maka dalam keseharian Ida Rsi Bhujangga Waisnawa diharapkan selalu tinggal di grya untuk tetap belajar dan melaksanakan suryasewana dan kegiatan yang berhubungan dengan kasulinggihan. Minimal setelah 42 hari (satu bulan tujuh hari) dari hari pediksaan dilaksanakan, maka Ida Rsi Bhujangga Waisnawa tersebut diharapkan dapat melangsungkan prosesi ngalinggihang weda di merajan grya yang bersangkutan. Dihadiri oleh guru nabe penapak, guru waktra dan guru saksi yang sekaligus melakukan evaluasi, memberikan petunjuk dan pelajaran yang diperlukan. Upacara ngalinggihang weda bermakna ngalinggihang Sang Hyang Weda kedalam angga sarira sang sulinggih. Dengan upacara tersebut maka diharapkan puja weda mantra yang diucapkan sang sulinggih memiliki taksu dan kesidian.
Proses ngalinggihang weda dapat juga dilihat sebagai evaluasi bagi sang sulinggih yang baru melinggih atas kemampuannya dalam melaksanakan kewajiban melafalkan puja weda mantra, sikap dan perilaku lainnya yang mencerminkan kasulinggihannya. Prosesi tersebut diakhiri dengan penyampaian pesan-pesan tertentu (piteket) oleh guru nabe, guru waktra, guru saksi kepada sang sulinggih tersebut. Jika acara ngalinggihang weda sudah terlaksana maka sang sulinggih (Ida Rsi Bhujangga Waisnawa) tersebut boleh muput yadnya (ngalokapalasraya) dan pelayanan lainnya kepada umat pada tingkatan madya. Pelayanan tersebut dibatasi yaitu belum memiliki kewenangan untuk muput karya ageng atau yadnya yang berhubungan dengan atiwa-tiwa, seperti membuat tirta pengentas, ngaskara dan memukur. Juga belum berwenang melayani untuk muput upacara dewa yadnya dengan tingkatan menawa ratna.
3.2. Proses Mapulang Lingga
Proses mapulang lingga dalam tradisi di lingkungan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa, dilaksanakan setelah 3 (tiga) tahun dari hari pediksaan. Seperti pada acara ngalinggihang weda, maka acara mapulang lingga dihadiri oleh guru nabe penapak, guru waktra dan guru saksi, dilakukan di merajan grya yang bersangkutan. Mapulang lingga atau ngalinggihang lingga dapat dimaknai sebagai memasukkan atau mendudukkan/menstanakan Siwa atau Brahman ke dalam diri. Menstanakan Brahman ibarat melaksanakan yoga dengan mewujudkan atma lingga di dalam diri. Atma lingga merupakan perwujudan Triaksara dan Sanghyang Ongkara yang berstana dalam batin.
Prosesi upacara dilaksanakan oleh Ida Rsi Nabe (guru nabe penapak) dengan simbolisasi “memasukkan” lingga dalam diri Ida Rsi Nanak, inti prosesi tersebut adalah dengan cara ngayab sesayut panca lingga kemudian meletakkan di kepalanya sebagai simbolik bahwa lingga tersebut telah berstana dengan baik. Dengan pelaksanaan prosesi mapulang lingga maka membuka secara luas kewenangan yang sebelumnya dibatasi tersebut, sehingga Ida Rsi Nanak berhak muput karya ageng. Kewenangan tersebut dijelaskan oleh Ida Rsi Nabe (guru nabe penapak), guru waktra dan guru saksi, sekaligus memberikan piteket sebagai pelajaran agar kewenangan yang ada sekarang dapat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dalam melayani umat, baik dalam kapasitas sebagai sang adi guruloka maupun saat ngalokapalasraya.
Prosesi mapulang lingga merupakan upacara terpenting dalam kehidupan seorang sulinggih karena mulai dibukanya kewenangan yang amat luas. Seorang sulinggih yang telah menyucikan diri dan rohnya sendiri maka baru kemudian dapat menyucikan roh orang lain (yang telah meninggal). Penyucian roh mencakup konsep tentang purusa prakerti, preta, pitara, raga sarira, suksma sarira, antah karana sarira dan konsep atiwa-tiwa serta lainnya. Konsekwensinya adalah jika seorang sulinggih telah melalui prosesi mapulang lingga, maka konsep tersebut harus dapat dipahami secara mendalam. Demikian pula kewenangan dalam upacara dewa yadnya dengan tingkatan menawa ratna dan yang berhubungan dengan nyanggar tawang, serta kewenangan dalam bhuta yadnya yang berhubungan dengan panca wali krma sampai eka dasa rudra. Luasnya wewenang tersebut membutuhkan kesiapan mental dan fisik diri sulinggih, sehingga dengan kurun tiga tahun dari saat mediksa maka diharapkan sulinggih tersebut sudah cukup waktu untuk belajar dan dalam kesehariannya pun akan terus belajar.
(Sumber: Bab V, Tesis S2 IHDN Ngurah Pratama Citra, M.Fil.H, Tahun 2011).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar